Sunday, November 13, 2011

Cerpen : Bapak Bukanlah Ombak

BAPAK BUKANLAH OMBAK
Karya : Kartika N. Nugrahini

Untaian ombak berlari ke daratan. Mendesir-desir dan terkadang terdengar dentuman air yang bertabrakan. Burung-burung berterbangan menyambar ikan yang muncul di permukaan. Tanpa menunggu datangnya panggilan, sosok lelaki bertubuh hitam menghampiri pikiranku. Lelaki yang mengajariku dengan tidak banyak bicara melainkan bertindak. Lelaki itu kini tengah berbaring di ranjang yang semakin lama semakin reyot. Kemudian datang pula bayangan dinding yang masih berupa tempelan bata merah. Di kotak-kotak itu terdapat belasan, bahkan mungkin puluhan kata tertulis menggunakan kapur putih. Setiap malam bapak mengajariku bagaimana cara menulis huruf yang aneh dan kata apa yang terbentuk olehnya. SAPI, BAPAK, MACAN, IBU, SAPU, BUKU dan deretan kata lain. Ada tulisan yang tersusun rapi, tetapi ada juga yang tidak. Dan pastilah itu coretan jemari mungilku. Aku belum tidur jika belum menengok kotak-kotak itu. Karena bagiku kotak-kotak itu  adalah pintu utama untuk menemui mimpi yang indah.
Suatu ketika, aku dan kakak  tidur hingga larut malam. Mungkin sekitar  jam sebelas. Kami tidak tidur karena tidak ada yang menemani. Bapak sedang ronda. Biasanya bapak meminta tolong  kepada saudara untuk  menemani tidur kami. Tetapi entah kenapa dia tidak datang malam  ini. Rumah kami tidak berjauhan, mungkin hanya sebelas meter. Tetapi kami tidak memiliki keberanian untuk menyusul. Aku dan Kak Dita hanya mengerjap-kerjapkan mata. Guling sana guling sini ditemani rengekan jangkrik dan binatang malam lain. Aku ikut merengek karena takut.
Kak Dita, yang pada waktu itu masih berumur delapan tahun mencoba menenangkanku. Dia menceritakan kegiatan yang dilakukan seharian itu. Setelah habis menceritakan dirinya, dia melempar pertanyaan kepadaku tentang apa yang aku lakukan seharian itu. Aku bercerita dengan terbata-bata. Maklum, aku masih berusia enam tahun. Lambat laun, kurasakan juga kantuk itu. Aku dibawa terbang oleh dewi mimpi. Kulepaskan segala kelelahan yang kudapat dari jalan, kebun dan halaman tetangga.
Ketika kelelahan belum kulepaskan secara tuntas, …”Aaa!”. Kakakku menjerit! Seketika itu aku terjaga dari tidur.  Kudapati ia menangis sambil melotot ke arah jendela. Aku mengikuti arah pandang matanya. Ada makhluk besar yang mengintai dari balik jendela, kemudian menerobos masuk kamar. Kami menjerit bersamaan. Rasa takut tidak dapat kami hadapi. Mungkin secara tidak sadar, saat itu kami  sudah panas-dingin dan gemetaran. Entahlah, sosok itu lebih menyeramkan dari bapak. Kueratkan pelukan ke tubuh Kak Dita, begitupun dia. Kami bersembunyi di balik selimut berwarna hitam. Semua air mata kami tumpahkan sehingga membuat bantal menjadi basah. Naluriku sebagai anak yang baru saja lepas dari balita, sangat ingin mendapatkan perlindungan orang tua. Tetapi bapak belum juga menolong kerena biasanya setelah meronda, dia langsung menjemput ibu. Iya, ibuku bekerja sampai larut  jika mendapat giliran jaga malam. Bapaklah yang selalu menjemput di tempat ibu bekerja.
Pada waktu itu gaji guru tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, apalagi bapak harus membayar cicilan motor. Menderitanya hidupku ini. Kami menangis hingga akhirnya terdengar suara kunci pintu. Pastilah itu suara tangan ibu yang membuka kunci. Tetapi kami tidak mendengar suara motornya. Mungkin sudah dimatikan sebelum masuk kampung karena takut suara motor yang seperti mesin gergaji itu menganggu para tetangga yang sudah lelap.
Mendengar kedua anaknya menangis, ibu berjalan cepat untuk mengetahui penyebabnya. Pintu yang tadinya hanya memperlihatkan sebagian dari kamarku, kini terbuka lebar sehingga membuat udara dingin masuk diantar nyamuk-nyamuk. Malam itu mulut kami masih kaku seperti ada es yang memenuhinya.  Hanya tangis yang lambat laun berhenti ditemani belaian seorang ibu yang sangat lemah lembut. Aku duduk di pangkuan. Tangan kirinya mengelus kepalaku, sedangkan yang kanan untuk memijit kaki Kak Dita. Seharusnya kami yang memijit ibu. Beliau pasti sangat lelah. Bekerja banting tulang demi kata cukup. Meskipun usianya termakan waktu, wajahnya selalu bening, sebening embun pagi yang ditangkap matahari.
Malam itu semuanya terlihat berbeda. Wajah ibu lebih pucat dan kusam. Rambutnya yang dipotong pendek tidak dapat menutupi telinga yang tanpa anting. Emas itu dijual ketika kenaikan kelas Kak Dita. SPP menunggak hingga enam bulan. Memang, pada masa itu SPP hanya sepuluh ribu setiap bulan. Tetapi apalah artinya sepasang anting yang dijual itu? Uangnya tidak cukup untuk memenuhi semua kekurangan. Hutang sana-sini sudah ibu lakukan meskipun sebenarnya ibu tidak ingin memiliki hutang yang menumpuk karena takut tidak dapat mengembalikan. Sebenarnya, bukan belaian ibu yang meredakan tangsiku. Tetapi karena bapak mengambil sapu lidi  yang siap dilayangkan ke arah kami, aku dan kakakku. 
Bapak tidak pernah melukai ibu. Saat aku memandang ibu, yang kulihat hanya tatapan iba. Kami tahu, ibu sangat ingin membela kedua putrinya.Tetapi gambaran seorang kepala rumah tangga yang ganas mengalahkan rasa ibanya. Dia buang jauh-jauh perasaan itu agar kami tidak berharap. Andai saja waktu itu ada bidadari cantik yang akan mengubah bapak menjadi badut, tentu aku akan bergelak tawa. Atau paling tidak, ada seorang peri yang mengubah bapak menjadi lelaki berwajah tampan dan berhati tampan pula. Tetapi semua itu tidak terjadi. Aku hanya terlalu banyak bermimpi dan berharap mimpi itu suatu saat akan menjadi bagian dari cerita nyata di hidupku.
Malam itu sangat kelam. Cahaya-cahaya lampu membuat hati semakin menciut karena buram, bahkan hampir mati. Pelan-pelan, Kak Dita menceritakan apa yang baru saja terjadi .  Kak Dita terpejam, entah mengapa. Tidak lama kemudian, “Aaa!! Ibu, takut!!”. Terciptalah  tangisan yang meledak-ledak karena listrik padam secara tiba-tiba. Kini, tidak hanya rumah kami yang gelap, tetapi juga semua rumah di kampung. Kejadian ini bukanlah hal asing lagi bagi para warga. Hampir setiap malam dilakukan pemadaman. Padahal kami selalu membayar langganan listrik dengan tertib. Katanya, energi disimpan sebagai warisan untuk anak-cucu.
Pagi harinya bapak berkata, “Yang kalian lihat semalam bukan maling, tetapi salah satu penunggu rumah kita, mungkin. Mereka tidak akan mengganggu kelangsungan hidup kita jika memiliki keteguhan iman. Tertibkan salat wajibnya. Jika ada waktu, luangkan untuk berjamaah ke masjid. Tidak usah menunggu Bapak atau Ibu yang menyuruh. Besok kalau kalian rajin salat, setan-setan pasti takut untuk mendekati rumah kita karena penghuninya adalah anak-anak manis yang taat kepada Allah”. Aku menatapnya dengan pandangan kosong karena tidak mengerti dengan apa yang dikatakan. Kak Dita mengangguk berkali-kali. Makhluk yang selalu dianalogikan dengan wajah buruk rupa, besar dan jahat itu sudah aku lihat.  Aku menjadi teringat kepada perkataan guru mengajiku bahwa Allah menciptakan kehidupan lain selain di bumi. Dan satu-satunya yang muncul dipikiranku adalah setan. Bukan tumbuhan atau hewan. Mengapa aku tidak memilih allien? Karena aku belum mengenal istilah itu. Dalam hati aku selalu bertanya, apakah maksud bapak mengangkat sapu lidi  dan bahkan sering memukulkan ketubuh aku dan kakakku? Sejahat itukah dia? Sekasar itukah cara dia mendidik anaknya? Bahkan aku sempat berpikir bahwa bapak satu saudara dengan setan.
Masa kecilku memang tidak berkecukupan. Dan aku tidak pernah  sama dengan teman sejawat. Misalnya saja, jika dengan leluasa mereka memakan mi instan tanpa direbus, aku harus mengambilnya secara sembunyi-sembunyi dari dapur dan kemudian aku bawa lari ke kebun yang jaraknya seperempat kilometer dari rumah. Itupun jika ada persediaan di dapur. Aku memakannya bersama teman-teman perempuanku di kebun jambu biji yang salah satu pohonnya roboh. Pohon jambu biji memiliki batang yang kuat dan lentur. Kami selalu bermain ayunan di atasnya. Jika pohonnya berbuah, kami akan memetiknya meskipun masih keras. Terkadang kami juga bermain di pohon jambu monyet. Tetapi tidak untuk ayunan. Karena meskipun batangnya besar dan berwarna coklat tua, ia tidak mampu menahan beban yang berat. Satu hal yang selalu aku ingat, aku tidak pernah memakai celana panjang atau rok karena kulitku sudah licin. Apa hubungannya? Karena dikebun itu ditumbuhi tanaman yang jika bunganya sudah mengering, maka akan lancip seperti paku. Jika mengena kulit pasti akan terasa sakit dan agak gatal.
Panasnya matahari membakar kulit yang sudah sawo matang. Selain tidak leluasa memakan mie yang masih mentah, aku juga tidak memiliki sepeda kecil seperti milik Rina, Wati ataupun Dewi. Mereka memiliki sepeda yang bagus. Milik Rina berwarna biru, Wati berwarna merah muda dan milik Dewi berwarna kuning. Aku selalu berharap kelak bapak akan membelikanmu sepeda baru yang berwarna merah atau hitam. Setiap hari mereka bersepedaan menyusuri jalan desa atau mengelilingi lapangan. Dan aku berlari, berlari dan berlari. Mengejar agar tetap bersama. Ibu tidak pernah tahu penderitaanku. Ia selalu bekerja, bekerja dan bekerja. Kalau bermain petak umpet, aku selalu menjadi penjaga. Mereka selalu bergerombol dan bermain curang. Iya, para lelaki di desaku tidak pernah mau menerimaku menjadi teman yang baik. Bahkan mereka memprovokasi teman-teman perempuan. Aku selalu menangis. Kak Dita pun tidak bisa menolongku karena dia harus ikut bersembunyi. Aku tahu, mereka seperti menyekap Kak Dita agar tidak muncul untuk mengalah. Karena emosi yang tidak tertahankan, aku berlari pulang masih dengan tangisan. Jika mereka mengetahui niatku, mereka akan mengejar dan menyorakiku. Tangisku semakin menjadi. Tapi mereka tidak juga punya hati. Di mana Rina, Dewi dan Wati ketika aku dipermalukan dan diinjak-injak hatiku? Persahabatan monyet, mereka melupakan janji yang berucap dan mengikat.
Di rumah, aku masih menangis. Rasa sakit hatiku belum hilang. Melihat anaknya yang cengeng, lagi-lagi monster rumah tangga mengambil sapu lidi dan mencambuknya dipungggngku. Sakit sekali. Tapi kesakitan itu membekap mulutku. Air mata mengalir di pipi yang memerah menahan sakit hati dan raga. Dipukulnya aku sekali lagi, tetapi di kakiku yang masih kotor. Aku menutup muka dan menelungkup. Tidak lama kemudian, Kak Dita datang dan memelukku. Ternyata dia juga menangis meskipun belum dicambuk. Sapu itu melayang dipunggung Kak Dita. Semua gara-gara aku. Setelah memukul, bapak keluar dari kamar entah akan pergi kemana. Kak Dita mengelus-elus punggung dan kakiku yang dicambuk. Sebenarnya aku lelah menangis. Hampir setiap hari aku menangis. Semua itu tidak akan terjadi jika bapak tidak memukulku, semua itu tidak akan menimpaku jika aku tidak bermain dengan bocah-bocah curang. Tangisku berhenti ketika aku tertidur.
Ketika aku terbangun, lampu redup sudah menyala, suara azan dikumandangkan. Mungkin azan maghrib. Ibu datang dan menyingkap bajuku. Dia melihat bekas cambukan itu. Memang tidak luka, tetapi memerah. Ibu tidak pernah mencium kening ataupun pipiku. Tetapi aku tahu kalau dia sangat mencintaiku. Itulah kehebatan seorang ibu. Ibu mencintaiku dibandingkan bapak. “Bu, aku belum mandi”. Tanpa aku bilang pun, sebenarnya ibu tahu bahwa aku belum mandi. Dia sudah merebus air. Setelah mandi, ibu memberiku sebutir jeruk. Jeruknya tidak mulus. Ada satu bagian yang busuk. Kata ibu, itu tidak busuk, hanya bonyok karena terlalu masak. Di lain waktu ibu memberiku pear atau apel. Pasti ada bagian yang terlalu masak. Aku tidak menyebutnya bahwa buah itu hampir busuk. Hanya sedikit bonyok. Bapak tidak pernah memberi kejutan kecil membahagiakan seperti itu. kejutan yang ia beri hanya cambukan. Bapak jarang berkata, melainkan sering bertindak. Itulah hal yang aku benci dari dia. Mengapa dia tidak bisa berkata lembut seperti ibu? Mengapa dia tidak memiliki wajah bening, sebening wajah ibu.
Di lain kesempatan, Kak Dita berkata kepadaku, “Dek, aku bilang sama ibu kalau Bapak sering memukuli kita ketika ibu sedang bekerja. Aku juga bilang kalau kamu ingin memiliki seorang kakek yang kaya sehingga dapat meminta uang untuk membeli chiki atau es lilin. Aku ceritakan semua kepada ibu waktu kamu tidur”. Aku tidak merespon semua perkataan itu. Masih terlalu kecil untuk meraba ketidakadilan yang melekat dihidupku.
Kakek? Aku lupa kalau ternyata masih memiliki seorang kakek di sini. Dia tidak pernah hadir di langkah-langkahku. Setelah Kak Dita mengingatkanku tentang seorang kakek, aku mencari rumahnya yang berada di samping rumahku. Aku masuk melewati dapur. Ruangannya gelap dan masih bertanah, seperti rumahku. Tetapi rumah kakek lebih menyeramkam. Sawang tertempel di langit-langit dan sudut ruang. Lampu teplok mengayun di gantungannya. Ketika aku mencari, dia tidak ada. Betul bukan, kakek tidak pernah ada untukku meskipun ia masih hidup. Aku mengambil gelas di rak, kemudian menuangkan air teh. Pahit. Mungkin kakek kehabisan gula pasir. Teh itu aku ganti dengan air putih. Setelah meminumnya, aku meletakkan gelas dan berlari keluar mencari teman bermain. Aku ke rumah Rina, tetapi ternyata dia sedang tidur siang. Dewi sedang diajak saudaranya ke kebun binatang. Wati? Aku tidak terlalu suka dengannya. Dia sangat usil dan congkak. Aku memilih pulang untuk tidur siang. Aku tertidur sangat lama. Samar-samar aku mendengar bentakan dan teriakan hebat.
“…. Apa kamu tidak bisa bersikap lembut kepada anak-anak? Mereka semua anak yang baik, tetapi kamu selalu melakukan kekerasan untuk menghukum sedikit kesalahan yang wajar dilakukan oleh anak seumurannya. Apakah dulu bapakmu juga memperlakukan kamu seperti itu? Mana, mana bekas cambukan itu? Anak-anak sudah cukup bisa mengingat apa yang setiap hari kamu lakukan. Jika kamu tidak berhenti memperlakukannya seperti itu, mereka akan trauma dan kesalahanmu akan mereka bawa sampai mati. Tinggalkanlah kesan yang baik agar mereka menghormatimu bukan karena takut, tetapi karena sayang!”.
“Mereka anak-anak yang nakal! Kerjaannya hanya bermain dan menangis. Aku juga mengajari mereka banyak hal, bukan? Setiap sebelum tidur, aku melatih mereka untuk membaca dan menulis, meskipun hanya di tembok”. Terdengar suara sanggahan dari bapak yang nada suaranya lebih tinggi. Haruskah orang dewasa menyelesaikan masalah dengan teriakan dan bentakan? Apakah orang tua Rina, Wati dan Dewi juga sering bertengkar seperti ini?
“Apakah hanya itu yang dapat kau berikan? Dari dulu, sikapmu tidak pernah berubah! Aku sudah tidak mampu lagi mempertahankan rumah tangga ini! Kembalikan aku ke orang tuaku. Akan aku bawa anak-anak”. Perkataan ibu sangat mengagetkanku. Aku menangis karena tidak tahu permasalahan yang sebenarnya. “Mbak Dita, bawa tasnya keluar. Ayo kita ke rumah simbah di Solo. Kamu sudah lama tidak berkunjung, bukan?” kata ibu dengan suara rendah.
Aku duduk di bibir kasur, menunggu apa yang akan ibu lakukan. Aku melihat bapak berjalan ke arah pintu dan menguncinya. Ibu berkata “Bobo, Dik”. Tetapi aku hanya menggelengkan kepala. Tidak mungkin aku dapat tidur dalam situasi seperti ini. Aku, Kak Dita dan ibu berdiam diri di dalam satu kamar. Sedangkan bapak keluar untuk ronda, kata ibu. Ini baru selesai maghrib. Sebenarnya mau kemanakah Bapak? Kami dikunci di dalam rumah. Aku melihat ibu menundukkan kepalanya. Dia meneteskan air mata. Mengapa? Kami bertiga menangisi kejadian malam itu. Kak Dita masih memeluk tas berisi baju-baju.
Setelah pertengkaran hebat itu, bapak lebih sering mengajak kami ke masjid. Kami tidak pernah melihat lagi ia mengangkat sapu atau sekedar membentak. Tidak pernah kami rasai lagi kesakitan di tangan, kaki ataupun punggung. Telinga kami juga tidak memerah. Seiring menghilangnya kebiasaan bapak, aku juga membuang jauh rasa benci dan takut kepada makhluk itu. Kebencian itu seperti ombak yang berlari ke arahku, tetapi kembali dilempar ke lautan. Jika aku ditanya “apakah kamu belajar mengarungi kehidupan dari ombak?” Maka aku akan menjawab, “Ya. Aku selalu memandang lautan di kala senja setelah badan bapak ambruk dimakan usia. Dari perenunganku ini, aku mendapat pesan dari alam agar aku belajar dari ombak. Bukan belajar dari sesuatu yang hidup karena yang hidup selalu mencari kekurangan. Senja juga mengajariku untuk menutupi segala keburukan yang dimiliki orang lain,” kataku tanpa pikir panjang.
“Keburukan orang lain? Mengapa kamu hanya menutupinya, buang saja semua keburukan orang lain. Maka pikiran kita akan berkurang,” kata seorang lelaki yang tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Apakah tadi aku berkata dengan keras?
“Tidak, aku lebih suka menutupi dan menyimpan keburukan orang lain karena dari hal itu aku akan selalu mengingat mana yang baik untuk aku lakukan dan mana yang harus aku jauhkan. Aku sudah merasai semua kesakitan hidup, dan aku tidak mau jika orang lain merasakannya karena tindakanku,” sanggahku seketika.
“Baiklah. Apakah kamu belajar sesuatu juga dari bapakmu? Tadi kamu menyebut namanya”.
“Tidak, karena bapakku hidup,” lelaki itu tercengang ketika mendengar jawabanku.
Baru aku ketahui belakangan bahwa lelaki yang menghidupi keluargaku itu bukan bapak kandungku. Bapakku meninggal tanpa sebab yang pasti. Setelah mengetahui silsilah bapak tiriku, sikapku tidak berubah. Tidak semakin benci, tidak juga memaklumi. Mungkin Kak Dita sengaja tidak pulang ke Jogja karena tidak ingin menemui bapak meskipun dia belum mengetahui bahwa bapak yang sekarang bukanlah induk kami yang sebenarnya. Kakakku bekerja di Gorontalo. Dia terlalu sakit hati. Selain mengalami kekerasan fisik, bukankah dia juga mengalami kesakitan psikis. Dia sakit hati bukan karena bapak sering memukulnya, tetapi karena memukulku. Itulah isi surat terakhir yang dikirimkan Kak Dita lima tahun yang lalu. Senja itu aku akhiri dengan percakapan singkat. Ombak berbisik kepadaku agar aku segera pulang. Burung-burung seperti mengantarku sampai ke parkiran. Hanya ada beberapa motor yang tersisa. Tetapi penjaja makanan dan souvenir belum menutup barang dagangan.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More