Wednesday, July 27, 2011

Cerpen Mengenang Sendok dan Sedotan Karya Dewi Lestari

Mengenang Sendok dan Sedotan
Cerpen Dewi Lestari

Di tengah sawah dan hotel mewah di Ubud, saat saya dan beberapa rekan penulis diminta hadir oleh UNAIDS untuk program pengenalan HIV/AIDS. Saya sempat bertanya dalam hati: adakah titik balik di mana virus mematikan itu dapat menjadi akselerator kehidupan? Dan 'hidup' dalam konteks ini artinya bukan berapa lama kita bernapas, melainkan seberapa bermakna kita mampu memanfaatkan hidup, mortalitas yang berbatas ini? Momen serupa saya alami ketika menghadiri peluncuran buku almarhumah Suzanna Murni, seorang aktivis HIV/AIDS yang mendirikan Yayasan Spiritia.

Saya terenyak dan terhanyut membaca buku Suzanna. Pertama, karena otentisitas dan kejujurannya. Kedua, karena Suzanna adalah seorang penulis yang sangat bagus. Dan kembali saya merenung, HIV bisa jadi hadiah terindah yang didapat oleh Suzanna Murni. Dengan mengetahui keberadaan bom waktu yang dapat menyudahi hidupnya setiap saat, Suzanna menggunakan energi dan waktunya untuk membangun, membantu, dan berkarya.

Sementara kebanyakan dari kita menjalani hari-hari seperti mayat hidup yang bergerak tapi mati, ada dan tiada, tanpa makna dan tujuan, tanpa menghargai keindahan dan keajaiban proses bernama hidup. Saya lalu kembali dihubungi oleh UNAIDS untuk menjadi mentor dalam program pelatihan menulis bagi para ODHA. Dan di sinilah untuk pertama kalinya saya berinteraksi dekat dengan teman-teman ODHA. Sejujurnya, saya merasa tidak perlu mencantumkan keterangan 'ODHA', yang seolah-olah memagari mereka dengan saya atau dengan orang-orang lain. Sama halnya seperti saya merasa tidak perlu mengatakan 'teman-teman leukeumia' atau 'teman-teman hipertensi'. ODHA pasti mati, saya yang bukan ODHA juga pasti mati. Bom waktu itu ada di mana-mana. Kematian adalah jaminan, sebuah kepastian. Caranya saja yang bervariasi, hasil akhir toh sama.
Di sebuah penginapan di Karang Setra, saya berkenalan dengan empat peserta program mentoring. Saya mengamati mereka satu per satu, yang kebetulan semuanya perempuan. Satu bertubuh kecil mungil. Dua peserta lain posturnya jauh lebih berisi ketimbang saya. Satu sedang mengandung enam bulan. Tugas demi tugas mereka lakukan dengan cemerlang, bahkan di luar dugaan. Hanya ada satu program yang kami terpaksa batalkan: menulis di kebun binatang. Pada saat itu isu flu burung sedang santer-santernya di kota Bandung, dan demi keamanan kondisi kesehatan mereka, kami memutuskan untuk tidak pergi. Barulah saya merasakan ada restriksi itu, kondisi-kondisi khusus yang membedakan ruang gerak kami. Selebihnya, tak terasa ada perbedaan sama sekali. Di luar dari isi tulisan mereka, tidak ada kesedihan atau keputusasaan yang terungkap.

Tak seperti reklame tentang ODHA yang selama ini beredar dan mengeksploitasi ketidakberdayaan, terkapar kurus kering kerontang menunggu ajal. Saya hanya berkenalan dengan pergumulan mereka lewat apa yang mereka tulis. Dari sanalah saya mencoba memahami beragam proses yang mereka lewati dengan HIV, terutama implikasinya terhadap semua yang mereka kenal keluarga, teman-teman, kekasih, dan seterusnya. Saat kami mengobrol langsung, yang ada hanyalah tawa. Dan saya tersadar, kekuatan itu bisa hadir karena mereka tahu bahwa mereka tidak sendiri. Konseling, penerangan, aktivitas, dan kebersamaan, dapat menyalakan pelita dalam diri mereka untuk menjadi kekuatan dan bukan menjadi yang terbuang.

Pada malam terakhir pelatihan, salah satu fasilitator berulangtahun dan merayakannya di restoran di Dago Pakar. Sebagaimana hari-hari mentoring, kami asyik mengudap sambil menghadap ke lembah kota yang menyala pada malam hari. Sambil mengobrol dan ketawa-ketiwi, kami mencicip-cicip makanan dan minuman satu sama lain. Hingga kami berpisah, saya kembali ke rumah, dan tiba-tiba telepon genggam saya berbunyi. Sebuah pesan masuk: Mbak, makasih ya buat malam ini. Kami terkesan sekali Mbak mau berbagi sendok dan sedotan dengan kami karena ortu saja belum tentu mau.

Terima kasih sudah menambah kepercayaan diri kami. Lama saya terdiam, memikirkan apa gerangan yang telah saya lakukan. Momen sepanjang di restoran itu rasanya berlalu wajar-wajar saja. Lama baru saya ingat, dalam acara saling coba-cobi tadi, saya telah menghirup minuman dari gelas memakai sedotan yang mereka pakai, lalu mencicip es krim dengan sendok yang mereka pakai. Lama saya termenung, mengenang sedotan yang sekian detik mampir di bibir saya, mengingat sendok yang sekian detik menghampiri lidah saya. Betapa hal kecil yang saya lewatkan begitu saja ternyata menjadi perbuatan besar dan berkesan di mata mereka. Dan barangkali demikian pula halnya dengan rangkaian keajaiban dalam hidup ini. Sering kita berjalan mengikuti arus tanpa sempat lagi mengamati keindahan-keindahan besar yang tersembunyi dalam hal-hal kecil yang kita lewati.

Kita menanti perbuatan-perbuatan agung yang tampak megah dan melupakan bahwa dalam setiap tapak langkah ada banyak kesempatan untuk melakukan sesuatu yang bermakna. Jika saja virus itu tidak ada dalam darah mereka, perbuatan spontan saya tidak akan berarti. Saya mungkin tidak akan dikirimi pesan itu, dan saya tidak akan merenungi hal ini. Pertanyaan saya di Ubud terjawab dengan sebuah pengalaman. Pada satu titik, virus itu telah menyentuh hidup saya. Menjadi akselerator kehidupan saya. Bukan untuk memperlama denyut jantung, tapi mengajarkan saya bahwa hidup itu amat berharga dan selalu kaya makna, andai saja kita memilih untuk mengetahuinya. Suzanna Murni tahu hal itu. Demikian pula para peserta mentoring tadi. Saya hanya berharap mereka terus mengingatnya, demikian juga kita. Pesan singkat itu dikirim tanggal 13 Mei 2006, dan masih saya simpan hingga hari ini.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More