Tuesday, July 26, 2011

Cerpen Menembus Tingkap Kaca Karya Dewi Lestari

Menembus Tingkap Kaca
Cerpen Dewi Lestari

Suasana 17 Agustus selalu membangkitkan kembali pemaknaan dari merdeka itu sendiri. Setidaknya, pada level ritual, setahun sekali kita diajak mengheningkan cipta, mengenang jasa pahlawan, memikirkan ulang kontribusi apa yang bisa kita beri bagi Indonesia. Tahun ini, saya merenungkan konsep merdeka yang sedikit berbeda. Konsep kedaulatan kadang membuat saya bertanya-tanya, apakah konsep itu nyata? Dunia yang kini menyusut, mengecil, dan tambah rekat, telah menciptakan realitas unik yang memancing saya berpikir ulang tentang kedaulatan dan kemerdekaan. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa era globalisasi mengubah fungsi entitas negara, menggeser atau setidaknya membagi porsi kedaulatannya pada pasar. Perusahaan-perusahaan besar yang mendominasi pergerakan ekonomi dunia telah memenetrasi negara hingga memengaruhi kebijakannya, tak jarang malah mendiktenya. Kemerdekaan dalam konteks hari ini lebih dirasa seperti selembar ijazah, surat lisensi, atau akte kelahiran sebuah bangsa. Sekadar pijakan identitas. Selebihnya, setiap gerak langkah satu negara akan selalu dimonitor, dikendalikan, dipengaruhi, oleh kekuatan besar lain yang memayungi eksistensinya. Kemerdekaan seperti tingkap kaca, seolah-olah tidak ada batasnya, tapi kepala kita terantuk juga.

Banyak nama yang mewakili era kita sekarang. Orang teknologi akan mengatakan era digital, orang poleksosbud mengatakan era globalisasi, orang New Age akan mengatakan Zaman Aquarius. Kita bisa melihat makin banyaknya perubahan yang dimotori grup kecil, entitas non-negara, nonpartisan, non-birokrat, yang menjadikan negara seperti gajah besar yang tersuruk-suruk mengikuti kecepatan zaman. Kendati demikian, saya masih ingin menarik lebih dalam lagi makna kemerdekaan, menembus tingkap kaca tadi hingga ke unit individu.

Dalam kehidupan individu, kita tak luput dari impitan harapan lingkungan sekitar kita. Seringkali terasa sulit untuk bernafas bebas dari ekspektasi orang lain, apakah dalam bentuk norma, nilai, aturan maupun kondisi sosial yang mengikat kita. Bahkan terkadang keterpenjaraan ini pun secara halus diungkapkan sebagai "kebebasan yang bertanggung jawab", agar kita tidak lagi mengenang kesejatian ekspresi pendapat maupun sikap kita. Ada sebagian orang berpendapat, Indonesia belum siap untuk kebebasan individu. Jelajah rasa saya mengatakan ini seperti fenomena telur dan ayam. Di satu sisi, kita tahu bagaimana riuhnya pendapat massa hasil ?komporan? pihak yang berkepentingan tertentu, namun di lain sisi kita tidak bisa terus menerus menunda ekspresi individu yang mungkin justru hadir sebagai bagian dari pendewasaan bangsa ini. Semua ini akhirnya berujung pada ketidakmampuan kita untuk hidup secara total. Pikiran, perasaan, sikap dan pendapat akhirnya terparut oleh kelayakan sosial.

Hidup ini menjadi sebagian saja. Dan bagi yang alergi terhadap konflik, akhirnya lebih memilih tertidur dalam keterpenjaraan mental, emosional maupun spiritual. Adakah kemerdekaan sejati yang tidak menjebak kita dalam ilusi tanpa batas seperti halnya tingkap kaca? Saya yakin ada. Barangkali hanya segelintir individu yang pernah mengecapnya, banyak yang berproses untuk mendapatkannya, dan lebih banyak lagi yang tidak mengenalnya sama sekali. Sebagian besar dari kita hidup seperti Epimenides yang terjebak dalam pilihan dilematis tak berujung.

Satu-satunya solusi sejati adalah keluar dari perangkap konflik, menembus tingkap kaca, dan memandang kemerdekaan sebagai suara jiwa, suara individu nan otentik, bukan suara sosial semata. Kemerdekaan semacam ini tidak bersuara dan tidak berdarah-darah. Kemerdekaan ini tanpa proklamasi, tanpa organisasi, tanpa prosesi. Kemerdekaan ini bernama kesadaran. Merdeka sejati berarti mentransendensi bipolaritas nilai dan mengatasi tingkap kaca yang menaungi kepala. Kita bisa jadi disebut bangsa berdaulat, tapi kita amat jauh dari manusia yang berdaulat. Semoga suasana kemerdekaan setahun sekali ini dapat menggelitik kita untuk mengecek sejauh mana tingkap kaca di atas kepala kita, dan apakah kita tergerak untuk mengatasinya, menjadi manusia yang sungguhan merdeka dan berdaulat. Manusia otentik yang merayakan kemerdekaannya setiap hari.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More