Friday, June 24, 2011

Naskah Monolog Rahim Karya Cok Sawitri

Cuplikan Monolog Rahim Karya Cok Sawitri
Sebuah meja yang tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil, terbuat dari bahan kayu besi. Lalu dua buah kursi yang diletakkan berseberangan saling berhadapan, jam dinding yang memantulkan suara detak jam pada tiap kali geraknya membuat jantung lebih cepat berkerut. Belum lagi udara yang memasuki hidung begitu sarat mengandung debu yang seketika membikin tenggorokan tercekat perih.

Pintu di belakang tubuh saya otomatis menutup sendiri. Sisa desir anginnya, membuat saya seperti merasa didorong ke kubangan pasir, menyebabkan leher terasa demikian berat dan kaku. Sekali lagi, detak jarum jam dinding itu membuat pori-pori saya mengembang membentuk lubang dingin. Menggigilkan hati.

Saat itu, saya tidak memerlukan penjelasan apa pun, secara naluri saya mengerti, mengapa mereka, tiga orang lelaki itu, memasukkan saya ke kamar ini.
Karena sebelumnya, entah suatu kebetulan, seminggu yang lalu, seorang sahabat telah mengingatkan saya akan kemungkinan semacam ini. Tetapi peringatan sahabat saya itu, sungguh sulit saya percayai. Memang, sudah sering saya dengar kabar-kabar tentang berbagai kejadian aneh dan tidak logis yang menimpa banyak orang. Misalnya, ketika seorang teman dengan mata tertutup dibawa di tengah malam oleh sekelompok lelaki. 
Teman saya itu diajak berputar-putar, tetapi entah kemana, teman saya tak pernah ingat. Dia hanya ingat diajak berkeliling! Tanpa henti dan tidak pernah berhenti. Dia juga ingat, selama perjalanan berputar-putar itu tak ada satu pun orang dari para lelaki yang membawanya itu menyapa dia dengan sepatah kata sekalipun! Teman saya hanya mendengar suara langkah sepatu dihentak-hentak silih berganti dengan letup kosong gerakan pelatuk pistol, membentuk irama dingin dan mencekam ulu hati. Entah apa namanya peristiwa itu. Teror. Intimidasi. Pengalaman gelap. Entahlah. Saya tidak paham. Sebab teman saya itu akhirnya dikembalikan seperti sedia kala ke rumahnya. Sampai kini dia tetap hidup normal. Juga tidak ada sekecil apa pun sebagai suatu tanda pernah mengalami suatu peristiwa. Yang tersisa dari peristiwa itu, sebuah sorot mata, yang bila saya ajak bertukar pandang, membuat perasaan seperti tersedot pusaran angin. Atau secara pongah saya seolah melihat di lubang matanya telah tumbuh sebatang pohon besar dengan akar ketakutan yang demikian hebat.

Ya, memang besar perbedaannya antara mendengarkan cerita dengan saat mengalami sendiri, bahwa kejadian semalam itu, yang dialami oleh teman saya itu, yang semula hanyalah cerita-cerita penghangat disaat minum kopi dapat menjelma sebagai kenyataan. Dialami oleh siapa saja. Tetapi, saya sulit percaya apabila itu kemudian terjadi terhadap diri saya.

Nyatanya, saya mengalami, tetapi saya merasa lebih beruntung dibandingkan dia. Setidaknya, saya paham, sesuatu telah direncanakan untuk saya dan saya siap mengalaminya. Karena itu saya tidak perlu penjelasan. Kamar saya ini sudah lebih cukup dari selembar kertas penuh kalimat penjelas.

Download Naskah Monolog Rahim >>>>>> Disini

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More