Monday, February 27, 2012

Telepon Untuk Ayah (Cerpen Ayah)

TELEPON UNTUK AYAH
Cerpen Zakiyah Sholihah

Film yang barusan kami tonton sangat tidak seru. Kuberi tahu Kau, film itu sangat membosankan, lima menit pertama ketika tokoh utama bermain peran, Kau pasti sudah menguap berkali-kali.
“Kau saja yang memang bukan tipe penonton film itu Ra,” Stella menyanggah komentarku sambil tertawa. Yang benar saja, sudah banyak cerita-cerita membosankan seperti itu. Gadis yang sedang mencari jati diri, lalu tidak sengaja bertemu lelaki idaman, lelaki idaman tiba-tiba dikabarkan mengidap penyakit mematikan, lelaki idaman kemudian meninggal, sang gadis menangis ditinggal mati pasangan. Bah, yang benar saja.
“Ra? Kau tak mau acara kita ini jadi membosankan hanya karena film itu bukan film kesukaanmu, lalu kau tak mau mengajakku bicara?” Stella sudah berdiri tepat di depanku, memelototiku dan berkacakpinggang. Aku menengadahkan tangan anggun, berlagak layaknya pengeran, “Tidak nona, apapun kulakukan untukmu,” Stella tertawa.
Stella mengajakku jalan-jalan ke Taman Kota. Hari ini adalah ulang tahunnya. Katanya ia butuh teman baik untuk menemani hari spesialnya. Ia membayar semua yang kami nikmati. Aku hanya memberinya sebingkai foto dan sketsa tentang dirinya.
“Sera! Ini indah sekali!” katanya, lalu memelukku ketika hadiah dariku dibukanya.
Aku menikmati juga acara hari ini (kecuali bagian acara menonton film). Kami makan es krim, berjalan di Taman Kota saat sepertiga isi kota pergi kesana, berbelanja, makan makanan khas kota, berbelanja souvenir untuk keluarga Stella, minum jus, dan jalan-jalan lagi.
Sepanjang perjalanan di Taman Kota, Stella membawa hadiahku di tangannya, sesekali memeluknya erat.

***

Aku memeriksa foto-foto yang berhasil aku potret pagi hari ini. Cukup bagus, bahkan beberapa diantaranya (menurutku) sangat menarik. Foto-foto yang kupotret pada saat acara ulang tahun Stella juga tak kalah menarik. Objek yang kuambil tepat, begitu menurut salah satu dosen di fakultasku ketika melihat foto-foto yang pernah kupotret. Aku tak sia-sia memilih seni rupa dan fotografi sebagai jurusanku. Teman-temannya menyenangkan. Mereka memiliki gaya yang berbeda satu sama lain. Tak ada yang bisa dibosankan di jurusan fotografi, dan selalu ada kejutan di jurusan seni rupa. Semua anak bisa menjadi perhatian jika karya baru yang dibuatnya menarik. Ada saja segala hal yang dilakukan mahasiswanya. Meja mereka tak pernah bersih dari coretan gambar. Kelas selalu ramai dan selalu ada hal baru disana.

Stella bukan teman dari kedua jurusanku, tapi masih satu fakultas denganku. Ia mengambil jurusan seni sastra. Kalau meja mahasiswa seni rupa dipenuhi oleh gambar-gambar, mungkin meja Stella dipenuhi tulisan. Mungkin. Karena blog Stella penuh dengan postingan tulisannya yang tidak bisa dibilang pendek. Lima puluh postingannya dalam dua bulan yang kesemuanya hasil karya tulisna seperti cerpen buatannya, catatan harian, resensi buku dan film kesukaannya, dan ilmu sastra yang baru diperolehnya di kelas.

Walaupun berbeda dari teman-teman jurusanku, Stella telah menjadi bagian besar dari kehidupanku di kota ini. Kota yang jauh dari kota kelahiranku, rumahku yang sesungguhnya.

Aku menengok jam tangan, pukul 10.35 pagi. Kegiatan memotretku pagi ini cukup menghabiskan banyak waktu.
Aku menengok jam tangan, pukul 10.35 pagi. Kegiatan memotretku pagi tadi cukup menghabiskan waktu. Kubereskan laptop, kamera, dan alat-alat gambarku. Kemudian bersiap manuju kampus, bertemu Stella, dan menebak-nebak kejutan apa lagi yang datang dari kelas seni rupa.

Hari ini cerah. Aku sedang berbunga-bunga. Berjalan seperti lagaknya orang kaya, merasa seluruh universitas ini milik sendiri, senyum-senyum pada setiap yang kulihat di jalan. Tapi yang kudapat hanya tatapan aneh orang-orang yang kusenyumi. Belum pernah melihat orang senangkah mereka?
Karikatur buatanku dinilai paling bagus dari seluruh kelas seni rupa. Padahal itu karikatur pertama yang kubuat. Tak ada perasaan dengki dari seluruh teman-teman sekelas. Kami memang bersaing sportif dalam hal berkarya. Aku menjadi perhatian di kelas. Menjadi bahan pembicaraan untuk hari ini dan mungkin hari-hari berikutnya.

Tidak berbeda di kelas fotografi. Beberapa teman meminta softcopy hasil foto-foto potretanku. Mereka bilang foto-foto potertanku luar biasa indah dan tampak nyata. Banyak pula yang bertanya dimana aku memotret semua foto-foto ini. Bahkan beberapa teman yang lahir di kota ini tidak tahu tempat-tempat yang kupotret dari kotanya. Salah satu dosen menawariku mengikuti kompetisi fotografi. Oh, Tuhan.. aku tak tahu apalagi yang bisa kulakukan untuk menyambut keberuntungan hari ini kecuali dengan bersyukur, berdoa, dan senyum-senyum pada setiap langkah yang kuambil.
Stella, ketika tahu kabarku, ia langsung tersenyum, ikut bahagia.
“kau memang pantas mendapatkannya Ra,” katanya. “Kau tahu? Mama sangat suka bingkai hadiah darimu Ra, ia bilang indah sekali foto-fotonya dan sketsanya benar-benar bagus. Bahkan adik-adikku berebut minta digambari. Aku bilang pada mereka kau sangat sibuk, jadi tidak bisa meladeni fans-fans kecil seperti mereka. Lalu aku menawari diri untuk menggantikanmu menggambarnya, dan mereka bilang lebih baik tidak digambari dibanding aku gambari! Kurang ajar sekali mereka!” Stella berkacak pinggang, berpura-pura marah. Aku tertawa. Sudah banyak komentar seperti itu yang kuterima sejak aku tahu aku mulai berbakat dalam menggambar.

Hei! Sejak kapan aku mulai berbakat dalam menggambar? Ah, itu kuceritakan nanti saja. Hari ini aku sedang senang. Kau tahu, orang yang sedang senang tidak suka diganggu dengan cerita-cerita masa lalu. Tapi masa yang akan datang seakan semakin dekat dan semakin cerah saja.
***

Asap dari cokelat panas mengepul membuat kacamataku berembun. Aku mengelapnya, melanjutkan kembali menggambar komik-komik ilustrasi untuk sebuah penerbit ternama yang akan meluncurkan buku terbaru mereka, serial novel-komik, yang melibatkan aku sebagai ilustrator komik dan seorang penulis novel yang hebat. Aku bekerja keras dalam hal ini. Karena pekerjaanku inilah aku lumayan dikenali teman-teman mahasiswa satu fakultas dan pembaca-pembaca yang tertarik pada komik-komikku. Karena pekerjaan ini juga aku selalu sibuk, belum lagi urusan kuliah yang mengambil dua jurusan.
 
Terkadang Stella tidak suka melihatku selalu bekerja keras. Aku mengira karena alasan itulah Stella mengajakku menemaninya dalam hari istimewanya kemarin. Dia bahkan kaget ketika aku membawakannya sebuah hadiah untuknya, karena dia tahu aku tak punya waktu untuk melakukan hal-hal sepele. Hingga kemudian dia memelukku, mengacak-acak rambut pendekku.

Dari gaji komik-komikku, aku bisa membeli segala yang kuperlukan. Kamera, laptop, alat-alat gambar yang sebenarnya tidak terbilang murah. Dinding kamar penuh dengan karya-karya foto dan gambarku, dan satu foto berbingkai sederhana. Disana ada ayah, kakak, dan aku ketika masa SD-ku dulu. Ketika lelah bekerja dan kemudian merindukan rumah di kota sana, aku memperhatikan foto itu sejenak.
 
Kakak adalah seorang yang menemaniku selama di kota ini sebelum Stella. Ia seorang wanita yang ramah, baik, namu tegas dan berprinsip. Dialah yang menempati kamar ini sebelum akhirnya aku yang menempatinya. Kakak mengambil jurusan biologi. Berbeda denganku, dia tipe wanita yang langsung disenangi wanita manapun. Dia cantik dengan jilbab yang menutupi rambut indahnya. Ketegasannya membuat orang lain tak berani mencoba-coba urusan yang tak penting dengannya. Kecantikannya terwarisi dari ketampanan ayah, dan kelembutannya diwarisi dari ibu.

Ibuku? Wafat ketika aku lahir. Ayah sungguh terpukul dengan itu. Aku tak sempat mengenal ibu. Itu satu-satunya yang kusesali dalam hidup. Aku sering mendengar cerita-cerita kakak tentang kebaikan, kelembutan dan ketegasan ibu.
“ketika kau melakukan hal buruk, ibu tidak akan memarahimu, tapi akan menasehatimu dengan caranya yang membuatmu tak akan mengulangi kelakuanmu  itu hingga dua kali, “Kakak bercerita pada suatu malam di kamar kami.

Ibu bukan wanita yang cantik. Tapi balutan jilbabnya yang begitu rapi, membuat ibu terlihat cantik dari dalam. Sebaliknya, ayah adalah pria yang tampan. Masa mudanya ia malah memilih Ibu yang bersahaya sebagai pendamping hidupnya. Ayah juga bukan tipe ayah idaman. Ayah sangat tegas dan sangat sensitif. Aku sering dimarahinya dulu. Kata kakak, ayah mulai bersifat seperti itu sejak ibu wafat. Kakak bilang, mungkin ayah lelah, sehabis bekerja. Aku tak begitu peduli.

Hanya saat ini, aku tidak menyukai sikap ayah, karena alasan itulah aku menyusul kakak kuliah di kota ini. Mungkin karena alasan itu juga aku jarang menelpon rumah.
***

Sekarang masih pagi. Ponselku berbunyi keras. Aku merasa tidak mengaktifkan alarm kemarin, ternyata telepon dari Luna, teman kelas fotografi.
“Ke kampus sekarang Ra! Sekarang! Oke!” Hanya itu, telepon langsung diputus.

Aku mengikuti kata-katanya, bergegas ke kampus, merebak-rebak bak ada apa sebenarnya. Mungkin ada tugas mendadak yang penting, atau mungkin ada acara kelas, atau pembagian nilai UAS kemarin dan aku dapat nilai paling buruk! Aku rasa aku sudah mengerjakannya dengan baik.

Luna langsung menghampiriku ketika sampai di kampus. Ada beberapa anak sekelas juga bersamanya. Mereka langsung menyambutku dengan senyuman dan pertanyaan-pertanyaan aneh.
“Sera! Mulai besok aku ikut kau membidik foto-foto!” atau
“Bagaimana caramu melakukannya?” atau
“Kau hebat Ra! Aku juga ikut dengannya membidik foto denganmu besok ya!”
           
Sedangkan aku bingung akan menjawab apa. Ada apa sebenarnya? Belum sempat menjawab dan berpikir, aku sudah ditarik oleh Luna. Sekarang aku akan dibawa kemana?
“Aku tak akan mengatakannya Ra, kamu akan melihat sendiri,” Luna berhenti di depan mading kampus. Awalnya aku tak mengerti, tapi aku menurut. Di depanku ada sebuah artikel yang berisi…. hei, tunggu, benarkah ini? Benarkah artikel gila ini? Benarkah aku memenangkan kompetisi fotografi?
           
Aku kaget, berteriak bahagia. Aku memeluk Luna, yang kupeluk nyengir bahagia. Satu per satu teman-temanku ikut menyalamiku. Tak hentinya aku bersyukur. Aku merasa Tuhan ada di pihakku hari ini. Kuajak teman-teman sekelas hari ini untuk makan malam di restoran kesukaanku.
 
Stella berteriak tertahan ketika aku mengabarinya soal kemenanganku, “Oh my God, Sera, bahkan orang tuaku pasti gembira mendengar ini. Kau harus mengabari orang tuamu!” Stella setengah berteriak. Aku langsung padam. Aku tak menyukai ide itu. Terakhir kali aku hidup bersama orang tuaku (atau lebih tepatnya ayahku) adalah hal yang paling menyakitkan. Ayah marah besar padaku, mengusirku dari rumah. Kakak hanya bisa menghiburku, mencoba agar aku mengambil sisi positif dari kejadian itu. Tapi aku tetap tak bisa menerimanya hingga saat ini.

Stella membujuk, kemudian memaksaku. Aku tersinggung, lalu tak sadar mengatakan hal yang membuat Stella terkejut dengan yang kukatakan, dan pergi meninggalkanku. Sebelum benar-benar pergi dari hadapanku, ia berkata, “Sungguh Ra, orang tuamu pasti akan sedih sekali mendengar perkataanmu tadi.” Katanya lirih, matanya berkaca-kaca. Namun saat itu ketidak pedulian menguasaiku lagi.
***

Acara tadi malam seru sekali. Kami makan sepuasnya di restoran itu. Karena acara itu aku tidur terlalu malam dan bangun terlalu siang. Aku tak punya waktu untuk memotret seperti biasanya. Aku harus cepat menyelesaikan komik-komikku yang deadline-nya tinggal seminggu. Aku gelagapan. Sebentar lagi kuliah dimulai, aku pasti terlambat. Dengan pakaian seadanya (jaket dan celana jeans), aku pergi ke kampus tanpa makan pagi.

Kelas sudah dimulai ketika aku masuk. Beberapa teman tersenyum padaku, mengingat acara tadi malam. Aku tersenyum tipis. Aku terbayang Stella dan kata-katanya kemarin. Tiba-tiba papan tulis, meja, layar laptop, wajah teman-teman, dan dosen berbayang wajah Stella, ayah dan kakak, bergantian, berulang-ulang. Teringat kejadian dua tahun lalu.

Di kantin, tanpa sengaja aku melihat Stella. Kelaparan yang melanda sejak pagi tiba-tiba menguap, hilang. Aku menghampiri Stella, meminta maaf, mengakui kesalahanku. Tak seharusnya aku marah padanya, karena ini bukan urusannya. Tapi ternyata kata-kataku masih salah, Stella menyanggah.
“Aku tak peduli bagaimana kemarahanmu padaku Ra, aku sedih, bagaimana bisa aku berteman denganmu yang membenci orang tuanya sendiri?” katanya akhirnya menoleh padaku.
“Kau tak mengerti apa-apa tentangku Stella, itu memang bukan urusanmu.”

Stella tampaknya tersinggung dengan kata-kataku. “Sahabat baik selalu peduli dengan apa yang terjadi pada sahabatnya Ra,” Ia kemudian pergi meninggalkanku lagi.

Kenapa Stella berkata seperti itu? Bahkan aku tak pernah peduli pada keluarganya. Tapi aku selalu ingat cerita-cerita padaku tentang mamanya, papa dan adik-adiknya. Dalam nadanya ketika bercerita ia selalu terdengar bahagia. Sedangkan aku tak pernah bercerita tentang keluargaku. Aku lebih senang mendengarkan dan merasakan kebahagiaannya. Sesekali ada keinginan untuk memiliki keluarga bahagia sepertinya. Tapi mana mungkin kan? Terkadang Stella memintaku bercerita tentang keluargaku. Tapi apa yang bisa kuceritakan? Keluargaku bukan siapa-siapa. Kami bukan keluarga terhormat dan berada seperti keluarga Stella.

Pikiranku penuh dengan hal-hal itu. Teringat lagi rumahku yang sebenarnya. Aku sama sekali belum menelepon rumah beberapa bulan terakhir ini.

Diantara kebingungan, rasa bersalah, sedih dan marah, aku putuskan untuk menelepon rumah.
Aku melupakan makan siangku.
***

Agak lama sebelum akhirnya telepon dariku diangkat. Kakak yang pertama kali berbicara disana, memberi salam, terdengar nada kejutan ketika tahu aku yang meneleponnya. Lalu ia bertanya tentang kabarku, kuliahku. Aku menjawab dengan baik kalimat-kalimat kerinduannya. Tak ada yang berubah dari suaranya, toh aku hanya belum meneponnya selama empat bulan terakhir ini. Setidaknya dari suara merdunya aku tahu ia sehat-sehat saja.
“Sekarang aku mengajar di beberapa sekolah dasar. Lain kali kau harus melihatku mengajar Ra! Kau tahu? Mereka lucu sekali. Aku teringat masa kecil kita dulu, ketika kau dihukum di kelas, lalu aku menangis..”

Aku memotong pembicaraannya, “Yah, kau cengeng sekali waktu itu,” aku tertawa.
“Hei, tapi gara-gara akulah kau dikasihani, lalu diperbolehkan pulang kan?”
“bukan aku yang dikasihani, tapi guru kasihan padamu kak, ngomong-ngomong kenapa kau bisa sampai menangis saat itu?” aku membayangkan wajah malu kakak.
“nng.. saat itu, aku sengaja agar kau bisa pulang.. tunggu, bukan itu yang ingin kuceritakan sekarang. sampai maa tadi? Oh iya, sekarang aku dapat merasakan bagaimana menjadi guru yang sesungguhnya, merasakan bagaimana menghadapi anak-anak yang sedikit nakal. Tapi tak sedikit juga yang hebat dalam menggabar, berhitung, dan menari, mengingatkanku pada kau yang hebat menggambar hingga sekarang. ketika aku bercerita pada mereka, mereka takjub dan ingin sekali berjumpa denganmu Ra, eh, bagaimana denganmu?” kakak tiba-tiba tersadar dan bertanya padaku.

Kakak agak terkejut ketika aku bilang padanya aku memenangkan kompetisi fotografi.
“Kukira kau akan lebih hebat di bidang menggambar, kukira kau memenangkan kompetisi menggambar lagi Ra,” Katanya.
“Aku sudah menjadi komikus dan illustrator di beberapa penerbit kak, tak mungkin aku diterima daftar dalam kompetisi menggambar, bisa-bisa aku lagi yang menang kak..” aku terkekeh.

Seperti biasa, kakak mengakhiri pembicaraan kami dengan nasehatnya.
“Kau jangan berhenti mencari ilmu Ra, dan raih prestasi sebanyak-banyaknya. Kau jangan buat malu kakak di universitas itu ya, buat bangga kakak dan ayah,” aku tersenyum.
“komik-komikku tidak membuat kakak bangga? Iya kak, pasti!” tapi justru kata-kata yang terakhir meragukanku. Agaknya ada yang lupa kuucapkan.

Kakak menutup telepon setelah sebelumnya mengucapkan salam penutup. Setiap mendengar  kakak di telepon, aku suka bertanya-tanya, beginikah rasanya jika mendengar suara rindu seorang ibu? Karena kelembutan suara kakak nyaris sama dengan yang diceritakan kakak ketika kakak menceritakan bagaimana ibu. Andai ia masih hidup.

Oh, aku lupa, aku lupa menanyakan kabar ayah. Tapi aku terlalu ragu untuk menelepon kembali. Ternyata dengan cepat aku melupakannya, dan teringat aku belum makan siang.
***

Kuharap pembicaraanku dengan kakak di telepon dapat menjadi bukti untuk membantuku meminta maaf pada Stella. Tapi sejak pagi aku belum melihatnya di jalan, kantin, atau perpustakaan kampus seperti ia biasanya. Aku menghela nafas. Apakah ia masih marah padaku?

Jujur, aku kehilangannya. Ia tidak biasana seperti ini. Biasanya ia menemaniku jalan dan makan siang. Cerita-ceritanya seperti tak pernah habis. Ia tak seperti teman-teman sekelasku. Stella itu pendiam. Tapi jika kau sudah akrab dengannya, ia akan menjadi ceriwis sekali. Seakan setiap detik yang dilewatinya harus selalu kuketahui. Tapi ia juga tak segan membantu, dan sangat rendah hati. Ia tak terlalu akrab dengan teman-teman sekelasnya. “mereka berbeda sekali dengan kau Ra,” katanya waktu itu. Dia pikir aku pengukur standar teman baginya?
Stella sangat manis. Ia menyukai film-film yang bertema kasih sayang. Ia beberapa kali memiliki kekasih, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk hanya memiliki satu kekasih sampai ia menikah nanti, yaitu Tuhannya.
Mengingat Stella, mengingatkanku bahwa ketidak hadirannya mambuatku semakin gelisah, ia juga mengingatkanku dengan perasaan bersalah semacam ini dua tahun sebelum hari ini. Tepat ketika aku menjelang masuk universitas ini.
***

Dua tahun lalu, ketika aku SMA.
Aku bermain di rumah Rio hingga lupa waktu, terlalu asyik. Bukan sekedar bermain sebenarnya. Aku, Dinny, Sena dan Rio merencanakan membuat klub graffiti mural. Sejak masuk SMP aku mulai tertarik pada menggambar. Aku sempat menjuarai tiga kompetensi menggambar di SMP dan empat kejuaraan menggambar tingkat SMA. Akhir-akhir ini semangat menggambarku menyala-nyala. Ditambah aku akhirnya menemukan teman-teman yang satu hobi denganu, menggambar. Kami berkenalan lewat jejaring sosial internet. Mereka sangat hebat. Dinny sangat menyukali menggambar manga (menggambar gaya Jepang), Sena hobi melukis, Rio selalu menghabiskan waktunya untuk membuat graffiti koleksiannya, sedangkan aku suka menggambar komik.

Karena itulah kami sangat kompak. Sejak kami saling kenal, kami selalu bersama-sama. Jalan-jalan, bertukar pikiran, bertukar komik. Pembicaraan kami selalu tentang gambar dan tokoh illustrator atau pelukis idola kami.

Sampai akhirnya kami merencanakan proyek besar- membuat grafiti mural (yaitu gambar yang mengkomplikasikan antara graffiti, gambar, dan lukisan yang bertemakan kehidupan sosial.di salah satu tiang jembatan layang kota kami. Rio bertanggung jawab pada tulisan graffiti mural kami, Dinny dan Sena gambarnya dan aku ide komik dan mural. Ini pasti akan hebat sekali. Kami akan dikenal oleh seluruh kota.
Kami benar-benar menyiapkan mural dengan segala kemampuan kami. Mengorbankan waktu, tugas sekolah, pelajaran dan uang. Sudah beberapa kali kami dimarahi oleh orangtua-orangtua dan guru-guru kami. Tapi kami tidak peduli. Rencana kami terlanjur matang, terlanjur hebat.

Aku beberapa kali dimarahi ayah karena nilaiku yang tiba-tiba menurun. Dulu, aku sering dimarahi ayah karena aku belum juga memakai jilbab dan masih berpakaian pendek, seperti laki-laki, selalu ribut dengan ayah, katanya aku ini anak yang keras kepala. Ayah akan berkata dengan nada yang tegas, “Dimana urat malumu? Sampai saat ini kau belum berpakaian seperti kakakmu? Harusnya kau malu pada Tuhan, pada ibumu.” Atau “apa yang ayah bilang tadi? Keras kepala sekali kau ini.” Atau menyalahkanku, “pasti ini ulah kau kan? Semua ini terjadi?” aku sudah bosan dengan kata-kata itu, hingga membuatku tuli, tak peduli.
Hari ini hari penting. Sudah kami (aku, Dinny, Sena dan Rio) putuskan akan melaksanakan proyek besar yang kami nantikan. Kami sudah mendapat izin dari Pemerintah Daerah kota, “mural yang bagus,” kata mereka. Kami bekerja keras hingga malam hari. Sungguh hebat karya masterpiece kami. Aku yakin orang-orang akan kagum dengan karya ini. Bahkan fotografer akan terkagum-kagum melihat pemandangan ini, tak berhenti memotret.

Sudah kuduga, kejadian hari ini menjadi penentu hidupku nanti. Aku pulang begitu larut malam, dengan jilbab (yang ayah paksa pakai) terbuka dan pakaian penuh warna-warni cat pilox. Ayah murka melihatku. Alisnya menyatu, wajahnya memerah karena marah, dan tangannya tegang, bergetar. Aku hanya diam ketika ayah memarahiku. Kakak, yang saat itu sedang dirumah, ketika mendengarnya ia langsung menahan tangan ayah, memeluknya, menangis. Mengetahui tingkat kemarahan ayah, aku menahan diri untuk tidak membantah, tahu diri. Aku lupa apa yang ayah katakan padaku ketika itu, tetapi yang kuingat, ayah mengatakan, “mulai hari ini ayah lepas tanggung jawabku sebagai ayahmu, terserah apa yang ingin kau lakukan, ayah tak peduli.” Katanya dengan suara bergetar, saat itu aku sudah beranjak masuk kamar.

Beberapa bulan setelah lulus sekolah, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di universitas kakak di luar kota, mencoa melupakan ayah dan peristiwa beberapa bulai lalu. Aku mengambil sisi positifnya- setidaknya ayah bisa hidup tenang tanpa aku dan aku dapat bebas melakukaan hal-hal yang kusukai. Sejak peristiwa penting itu, persahabatanku (aku, Dinny, Sena dan Rio) makin baik, bahkan kami masih suka mengontak satu sama lain hingga sekarang. Dan sejak peristiwa penting itu ayah tak banyak bicara denganku, dan aku diantar menuju kota yang baru tanpa pelukan hangat darinya.
***

Kini aku tahu kenapa Stella tidak masuk dua minggu ini. Tak mengabariku dan tean-temannya selalu berbisik tentangnya. Papa Stella sakit keras, dua minggu ini dirawat di rumah sakit. Mungkin karena Stella sibuk merawatnya, jadi ia tidak bisa masuk kuliah, sementara mama Stella bekerja.
Dan hari ini aku menerima kabar dari salah satu  teman sekelasnya. Papa Stella meninggal tapat pukul tiga pagi tadi. Aku tak bisa bayangkan bagaimana kesedihan Stella saat ini. Ia pasti membutuhkan teman baik disisinya. Ketika mendengar kabar itu, aku bergegas menemui Stella, entah dirumahnya, atau di pemakaman. Tak kupedulikan almamater universitas dan celana gunung yang kupakai.

Pemakaman sangat ramai oleh para pelayat Papa Stella. Aku tak begitu kaget karena aku tahu Papa Stella adalah orang yang terhormat. Pasti sulit untuk menemuinya diantara ratusan pelayat. Aku putuskan untuk menunggu sampai pemakaman tak begitu ramai. Stella ada di sisi kuburan ayahnya saat aku menghampirinya.
“Stella, ini aku.. aku turut bersedih atas kematian papamu. Sungguh, aku sangat menyesal tidak dapat membantumu kemarin-kemarin. Aku tak tahu papamu sakit keras. Aku minta maaf, atas apa yang kuucapkan padamu. Aku salah, sebagai seorang anak aku tak seharusnya berkata sekejam itu bahkan tentang orang tuaku sendiri. Aku tahu perasaanmu kehilangan seseorang yang kau cintai. Tapi pasti akan lebih menyakitkan lagi jika sahabatmu satu-satunya meninggalkanmu kan? Sungguh, aku minta maaf..” kataku lirih, tanpa sadar air mataku jatuh. Sebenarnya aku tak bisa bayangkan bagaimana orang tua yang sempat mencurahkan kasih sayangnya padai anaknya tiba-tiba pergi. Orangtua yang sempat mengasihimu, memelukmu ketika kau takut dan bersedih, menciummu ketika kau bahagia, mendengar cerita-cerita tentang teman-temanmu, sekolahmu, dan cinta pertamamu, kemudian ia meninggalkanmu, pergi ke sisi Tuhanmu, tanpa pernah melihat kau tumbuh dewasa. Secepat itukah kematian datang? Bahkan bagaimana perasaanku nanti jika hal ini terjadi pada ayah sedangkan yang kulakukan terakhir kali padanya adalah berkata kasar dan membantahnya? Akankah ayah memaafkanku? Bagamana mungkin ayah akan bahagia disana nanti?

Kukira Stella akan menolakku mentah-mentah lagi dan mengutukku. Tapi Stella malah menggenggam tanganku. Kurasakan tangannya yang dingin, basah, bergetar. Lalu ia menoleh padaku dan bilang, “janji? Kau tak akan berkata kasar pada orangtuamu lagi?”
“aku janji”

Stella memelukku, “kata-kata itu sudah cukup buatku Ra, aku percaya padamu kau tak akan berkata kasar lagi pada orang tuamu. Aku yakin papa bahagia disana karena kasih sayang yang sempat kami berikan padanya. Terima kasih kau telah datang kemari Ra,” ia tersenum. Aku mengangguk.
Aku sudah berjanji.
***

Stella dan aku kembali menjadi teman baik. Kuceritakan bahwa karenanya aku menempatkan diri menelepon rumah. Stella dengan cepat menemukan semangatnya kembali, beraktivitas seperti biasanya. Sementara aku semakin gelisah, teringat ayah.

Aku sama sekali belum meminta maaf padanya. Aku belum pernah mengatakan bahwa aku sadar aku mencintainya. Aku gelisah, takut terlambat untuk mengatakannya. Ingin rasanya cepat pulang ke rumah, tapi aku sadar aku belum punya cukup uang. Uangku habis untuk acara makan malam waktu itu, dan uang hasil komik-komikku kubelikan jilbab dan baju-baju panjang untukku.

Aku menemukan cara lain. Aku harus meneleponnya. Sudah aku putuskan aku akan menelepon ayah hari ini. Ragu-ragu aku mengambil ponselku, menekan tombol-tombolnya. Bagaimana jika ayah masih marah padaku? Bagaimana jika ayah tak menerima maafku? Atau bagaimana jika ayah malah bertambah marah?

Sekarang ayah adalah seorang pensiunan. Sehari-harinya ia habiskan untuk bersosialisasi dan menjaga rumah. Terakhir aku menjenguknya fisiknya tampak mulai melemah. Tegakah aku untuk tetap tidak peduli dengannya?

Sudah dua kali teleponku tidah diangkat. Aduh, lama sekali.. ada apa dengan ayah? Atau kutunda hingga aku pulang ke rumah saja? Tidak, aku harus meminta maaf sekarang, sebelum terlambat.

Teleponku akhirnya diangkat. Seorang bapak menyapa memberi salam. Ayahku. Tiba-tiba suaraku tercekat, bibirku sulit bergerak.
“halo? Siapa ini?” kata ayah diujung telepon sana.
“ayah, ini aku.. “
“Lila?” ayah menyebut nama kakak. Bukan yah, ini aku..
“ini aku yah, Sera..”

Ayah tak menjawab. Ayo Ra, kau bisa mengatakannya! Tak peduli apa kata ayah nanti, tak peduli jika ini membuatmu tak bisa pulang lagi! Katakan sekarang! katakan bahwa..
“ayah, maafkan aku, maafkan semua kesalahanku.. ayah, aku mencintaimu yah..”
Tanpa sadar air mataku jatuh mengenai jilbab biruku. Mungkin kakak dan Stella akan kaget aku akhirnya telah mengatakannya.
***

Dua tahun lalu, tepat setelah Sera pulang malam dari kegiatannya bersama teman-temannya. Ketika ia pulang dengan jilbab terbuka, pakaian berantakan, dan penuh coretan warna-warni cat pilox.
Setelah Sera dan kakaknya sudah terlelap, tanpa disadari keduanya, ayah masuk ke dalam kamar mereka. Ia menghampiri tempat tidur Sera. Kau tahu? Wajahnya terlihat amat menyesali sesuatu. Ayah berbisik disamping Sera.
“maaf nak, ayah bukan ayah yang baik. Ayah tak bisa banyak bersabar seperti ibumu. Ayah sungguh menyesal dengan kata-kata ayah tadi. Ayah harap, kau akan lebih baik besok. Ayah tak mau dibenci oleh kau nak, anak ayah sendiri.. ayah sungguh minta maaf, ayah masih peduli denganmu, ayah masih mencintaimu nak.. ” kemudian ayah mengecup dahi Sera. Sera tidak tahu.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More