Cerpen Romantis berjudul Wihelmina kiriman dari sahabat Ferry Bhatthara dan kami ucapkan banyak terimakasih untuk kiriman Cerpen Romantis - Wihelmina karena Cerpen anda bisa membantu dunia sastra Indonesia. Oke langsung saja untuk membaca Cerpen dengan Judul Wihelmina karya Ferry Bhatthara dibawah ini.
WIHELMINA |
Cerpen Ferry Bhattara
Sore itu ia nampak murung duduk ditepi sungai Mahakam, wajahnya sesekali melihat kearah arus sungai yg berwarna agak kecoklatan itu. Langit jingga terus mengawasinya dari atas. Sementara tidak jauh dari tempat dia berdiri, bangunan jembatan Mahakam yg kokoh tampak gagah menantang zaman. Kaki jenjang putih mulus yg dibalut celana jeans pendek khas darinya terlihat sedikit bergetar. Entah apa yg saat itu dia pikirkan. Rambut gelombang dan panjang yg berntakan menjadi ciri Wihelmina, karna memang dia paling tidak suka menyisir rambutnya. Itu adalah saat-saat terakhir aku melihat dirinya, sebelum dia mengilang sampai hari ini.
”aku kagum padamu. Aku merasa nyaman waktu berada dekat denganmu. Kemarin terlalu singkat, ingin sekali mengulang kejadian waktu itu denganmu, hanya denganmu. Sekali lagi, iya, sekali lagi.” itu adalah kata-kata pertama yg dia kirim melalui pesan singkat dari handphonenya awal mula kami menjalin silaturahmi. Waktu itu dia masih menggunakan seragam putih-biru, wajahnya manis dengan bundaran hitam kecil yg berada tepat di atas bibirnya bagian kanannya. Dalam hati, sebenarnya aku sangat mengaguminya, tapi apa iya seorang gadis yg masih seusia dia mampu menafsirkan perasaannya dan mampu mengalahkan logika bahwa dia adalah seorang pelajar sekolah menengah pertama yg sewjarnya berkonsentrasi pada pendidikan formalnya, bukan pada perasaan yg sebenarnya belum saatnya dia rasakan. Pikiran itu sedikit mengganggu aktivitas keseharianku. Ketulusan kata-katanya dia buktikan dengan hampir setiap hari tidak ada satu kesempatan pun dia lewatkan hanya untuk berkirim pesan padaku sekedar mengingatkan ”jangan lupa makan dan istirahat ya kak, moga suatu saat kita bisa ketemu lagi....”.
Hari-hari begitu cepat berlalu, sampai-sampai aku tidak ingat lagi sudah berapa usiaku hari ini. Begitupun dengan Wihelmina, gadis kecil yg selalu mengingatkanku pada kejamnya zaman penjajahan Belanda di negeri ini. Karna kebetulan pada saat itu Wihelmina adalah nama Ratu di negeri Kincir Angin tersebut. Aku sudah jarang sekali membalas pesan singkatnya karena aktivitasku yg serba padat di perguruan negeri tinggi di daerahku tempat aku menimba Ilmu Politik dan belajar Kebudayaan Bangsaku sendiri. Akhirnya dia pun mulai jarang berkirim kabar lagi padaku. Biarlah, kuanggap itu bagian kecil dalam sejarah perjalananku.
Dalam sutau kesempatan, daerahku dipercaya menggelar salah satu perhelatan event olahraga terakbar di negeri ini, aku dan beberapa orang kawanpun mendapatkan kesempatan untuk bermain musik tradisional se-nusantara dalam pembukaan dan penutupan acara tersebut. Momen ini benar-benar tidak kami lewatkan begitu saja. Hampir setiap hari kami berlatih agar tampil maksimal, dengan didampingi seorang maestro musik trdisional nusantara yg namanya tak asing lagi bagiku.
Sore itu ia nampak murung duduk ditepi sungai Mahakam, wajahnya sesekali melihat kearah arus sungai yg berwarna agak kecoklatan itu. Langit jingga terus mengawasinya dari atas. Sementara tidak jauh dari tempat dia berdiri, bangunan jembatan Mahakam yg kokoh tampak gagah menantang zaman. Kaki jenjang putih mulus yg dibalut celana jeans pendek khas darinya terlihat sedikit bergetar. Entah apa yg saat itu dia pikirkan. Rambut gelombang dan panjang yg berntakan menjadi ciri Wihelmina, karna memang dia paling tidak suka menyisir rambutnya. Itu adalah saat-saat terakhir aku melihat dirinya, sebelum dia mengilang sampai hari ini.
”aku kagum padamu. Aku merasa nyaman waktu berada dekat denganmu. Kemarin terlalu singkat, ingin sekali mengulang kejadian waktu itu denganmu, hanya denganmu. Sekali lagi, iya, sekali lagi.” itu adalah kata-kata pertama yg dia kirim melalui pesan singkat dari handphonenya awal mula kami menjalin silaturahmi. Waktu itu dia masih menggunakan seragam putih-biru, wajahnya manis dengan bundaran hitam kecil yg berada tepat di atas bibirnya bagian kanannya. Dalam hati, sebenarnya aku sangat mengaguminya, tapi apa iya seorang gadis yg masih seusia dia mampu menafsirkan perasaannya dan mampu mengalahkan logika bahwa dia adalah seorang pelajar sekolah menengah pertama yg sewjarnya berkonsentrasi pada pendidikan formalnya, bukan pada perasaan yg sebenarnya belum saatnya dia rasakan. Pikiran itu sedikit mengganggu aktivitas keseharianku. Ketulusan kata-katanya dia buktikan dengan hampir setiap hari tidak ada satu kesempatan pun dia lewatkan hanya untuk berkirim pesan padaku sekedar mengingatkan ”jangan lupa makan dan istirahat ya kak, moga suatu saat kita bisa ketemu lagi....”.
Hari-hari begitu cepat berlalu, sampai-sampai aku tidak ingat lagi sudah berapa usiaku hari ini. Begitupun dengan Wihelmina, gadis kecil yg selalu mengingatkanku pada kejamnya zaman penjajahan Belanda di negeri ini. Karna kebetulan pada saat itu Wihelmina adalah nama Ratu di negeri Kincir Angin tersebut. Aku sudah jarang sekali membalas pesan singkatnya karena aktivitasku yg serba padat di perguruan negeri tinggi di daerahku tempat aku menimba Ilmu Politik dan belajar Kebudayaan Bangsaku sendiri. Akhirnya dia pun mulai jarang berkirim kabar lagi padaku. Biarlah, kuanggap itu bagian kecil dalam sejarah perjalananku.
Dalam sutau kesempatan, daerahku dipercaya menggelar salah satu perhelatan event olahraga terakbar di negeri ini, aku dan beberapa orang kawanpun mendapatkan kesempatan untuk bermain musik tradisional se-nusantara dalam pembukaan dan penutupan acara tersebut. Momen ini benar-benar tidak kami lewatkan begitu saja. Hampir setiap hari kami berlatih agar tampil maksimal, dengan didampingi seorang maestro musik trdisional nusantara yg namanya tak asing lagi bagiku.
Sore itu setelah selesai latihan, aku dan beberapa kawan memutuskan untuk tidak langsung balik kekampus, melainkan istirahat sejenak sambil melihat para penari masal yg masih sibuk dengan formasi tariannya dan teriakkan para instruktur. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara seorang perempuan yg memanggil namaku
”kak......”
Jelas awalnya aku binggung siapa gadis manis yg sekarang berdiri tepat didepanku ini. Tapi lingkara hitam kecil diatas bibir sebelah kanannya langsung mengingatkanku pada sosok Wihelmina yg kukenal beberapa tahun yg lalu.
”Wihelmina.......??” aku beranikan untuk bertanya, walaupun sebenarnya aku juga ragu.
”iya kk. Nggak nyangka ya kita bisa ketemu lagi. Sebenarnya beberapa hari belakangan ini aku selalu memperhatikan sosok yg duduk sambil memaikan djimbe disamping gong besar di bagian pemusik kk” astaga, itukan posisi yg aku tempati, kebetulan aku dipercaya memainkan alat musik djimbe yg aku sukai dari kecil. Bisikku dalam hati.
”sampai hari ini aku benar-benar yakin bahwa yg aku perhatikan adalah kk yg aku kenal, makanya aku beranikan diri untuk kesini kk.” Lanjutnya lagi
Setelah itu kamipun tertawa lepas. Wajahnya terlihat begitu bahagia sore itu. aku tak pernah berimajinasi sedikitpun tentang pertemuan ini. Obrolanpun kami lanjutkan dengan saling bertanya kabar, dari hal yg kecil sampai hal yg besar pun kami ceritakan. Kami benar-benar menikmati pertemuan jilid 2 itu. Tak terasa suara adzanpun berkumandang menandakan pertemuan hari itu harus diakhiri. Tak lupa kami saling bertukar nomor Handphone karna kebetulan dia menggunakan nomor yg baru. Itu alasan dia tidak pernah menghubungiku lagi.
Wihelmina benar-benar tumbuh menjadi gadis dewasa yg periang. Terlihat dari senyumnya yg selalu mengembang setiap ada kesempatan saling pandang dengannya di sela-sela latihan.
Setelah hari itu, kami seolah-seolah kembali kemasa dimana awal perkenalanku dengan Wihelmina. Hampir setiap waktu kami sempatkan untuk berkirim kabar dibalik kesibukannya yg juga sebagai seorang gadis SPG dan aku waktu itu yg sedang konsentrasi mempersiapkan sebuah pertunjukan dikampusku.
Tidak jarang, diwaktu lenggang kami sempatkan untuk ketemuan. Baik dikampusku, karena kebetulan berdekatan dengan sekolah dan rumahnya. Maupun di salah satu pusat perbelanjaan yg letaknya juga tidak terlalu jauh dari kampusku. Hanya untuk sekedar makan siang. Dia sering bercerita tentang mimpi-mimpinya kepadaku. Akupun berusaha jadi teman sekaligus pendengar yg baik baginya. Dia selalu bersemangat ketika berbicara tentang cita dan cintanya, walaupun siang itu matahari sedang tidak bersahabat. Baginya, cita dan cintanya lah yg saat ini membuat dia kuat mengahadapi tantangan hidup. Wihelmina bukan tipe gadis hedonisme, yg saat ini sedang nge-trend didaerahku. Dia berusaha jadi gadis yg berjalan atas dasar kemauannya, bukan pada sauasana yg dibangun oleh lingkungan sekitarnya. Itu salah satu penyebab kekagumanku padanya. Aku tak menyangka ada seorang gadis manis di zaman sekarang yg begitu idealis dengan dirinya sendiri, dan sekarang tepat berada didepanku.
“kk, aku pamit ya. Aku mau pulang kekampung asalku sementara waktu kk”
”iya, hati-hati ya dek. Tapi kok kagetan gini?? Kan sekolah belum pada libur dek??” aku membalas pesan singkat yg dia kirim tadi pagi. Karna belum bangun tidur, aku membalasnya siang hari saat disekretariat ku sudah banyak teman-teman yg lain melakukan aktivitasnya. Ada yg mengetik surat keluar, menjilid proposal, dan ada juga yg sedang mendengarkan lagu india Mohabettein di laptop.
”iya kk, maaf ya. Kakek ku meninggal dunia tadi malam.”. Itu pesan terakhir yg aku terima darinya hari itu.
Aku yakin, dia sangat terpukul dengan kejadian itu. Aku terus berusaha membuat dia tegar, walaupun sms ku tidak pernah dia balas selama dia dikampung halaman.
Sekembalinya dari kampung kakeknya, Wihelmina tampak sedikit berubah dari biasanya. Dia lebih sering terlihat sebagai gadis pendiam, jarang terlihat senyum manisnya lagi. Malam itu jadi saksi, gadis yg sekarang ada didepan ku bukan seperti gadis yg aku kenal sebelumnya. Mungkin aku bisa memakluminya. Kakeknya adalah salah satu inspirasi tentang mimpi-mimpinya.
Wihelmina sekarang lebih sulit mengontrol emosinya. Bahkan tidak jarang kami terlibat perkelahian yg hebat. Perlahan tapi pasti Wihelmina sudah tidak pernah menghubungiku lagi. Sampai akhirnya aku benar-benar tidak pernah mencium aroma farfum yg sering dia gunakan saat menemuiku lagi. Mungkin dia sangat terpukul kehilangan sosok penting dalam perjalanan hidup, cita, dan cintanya.
Sambil terus menatap arus Sungai Mahakam yg kecoklat-coklatan, Wihelmina tampak menyimpan sesuatu yg sebenarnya aku tak tahu apa yg sedang dia pikirkan. Mungkin dia sedang merangkai mimpi-mimpinya kembali yg sempat berantakan, atau bahkan melupakan semua yg dia idam-idamkan dalam imajinya. Yg jelas, angkuh Jembatan Mahakam itu terus berdiri kokoh menantang peradaban yg tidak jelas.
Itulah saat terakhir kulihat gadis kecil masa lampau yg kini jadi bagian sejarah hidupku. Akupun tidak berusaha mencarinya hingga hari ini. Karena aku yakin, dimanapun dia berada saat ini, Wihelmina sudah menemukan mimpi-mimpi masa kecilnya dulu.
Denpasar, 2011
Untuk Wihelmina, dimanapun dia berada
Kembali ke Kumpulan Cerpen Romantis yang lainnya.
0 comments:
Post a Comment