Cerpen Cucuk Espe - Sebelumnya saya ingin memperkenalkan Cerpen Karya Cucuk Espe yang di share kemaren yakni Meja di Sudut Ruangan yang Aku Suka dan kali ini saya akan share Cerpen Karya Cucuk Espe dengan Judul Jentir. Okelah langsung baca saja Cerpen Jentir karya Cucuk Espe dibawah ini.
JENTIR |
Cerpen Cucuk Espe
Jalanan berbatu terasa beku sehabis hujan. Semalam mengguyur hingga Subuh melenguh dan kini kabut gelap menjadi selimut. Putih menusuk tulang. Langkah renta perempuan-perempuan desa bermain di kecipak air pematang. Musim tanam pagi baru saja dimulai. Pematang belum terlalu kering dan rerumputan belum sempat melebat. Matahari hangat menyelinapkan cahaya hangat. Desa Jentir mulai menunjukkan napasnya. Hidup di tengah kebersahajaan tanpa kesah.
Tetapi justru kebersahajaan itulah yang membuat Warsi harus menggulung senyum. Kehangatan udara Desa Jentir membuat batinnya makin gelisah seperti matahari yang selalu terhalang kabut. Duduk di kursi kayu jati tua, Warsi melihat anak-anak te****ang dada bermain obak benteng*) di jalanan yang sepi. Memang Jentir terletak cukup jauh dari riuh kecamatan. Jentir sebuah desa kecil di kelilingi areal persawahan dan hujan jati. Tak ada jalanan besar –meski sekelas jalan kecamatan yang ada hanya jalan desa dari tanah. Nyaman dibuat tempat bermain layaknya pelataran.
Tingkah anak-anak itu semakin lucu. Berlari dengan lugu, berteriak dengan sangat egois. Terkadang terjadi silang pendapat, saling adu mulut tetapi permainan tetap berlanjut. Anak-anak tidak memiliki gelisah dan batin gundah. Namun Warsi, di sela senyumnya terselip kerikil resah yang terus melenting di batinnya. Kecemasan yang semakin kuat membetot kesadarannya, hingga berhenti pada satu titik; mengapa aku lahir di Jentir?
Ah! Mungkin terlalu berlebihan jika disebut penyesalan. Sebab penyesalan Warsi tidak akan berguna, sebab garis nasib telah tergores tajam seperti jalan matahari menuju sudut caklawala. Nasib pula akhirnya meletakkan Warsi pada kesulitan besar untuk sedikit membengkokkan takdir dirinya. Keinginannya dilamar oleh Sarjan harus pupus karena dia dilahirkan di Desa Jentir. Orang tua Sarjan yang seorang carik*) dari Desa Gondang tidak berani memenuhi permintaan anaknya untuk melamar Warsi dari Desa Jentir.
Warsi menyadari hal itu sangat menyakitkan. Dia ingat ketika mengungkapkan kejengkelan kepada kekasihnya itu, Jumat pekan lalu.
“Kang Sarjan tidak membantah?” protes Warsi.
“Bapakku sangat mempercayai hal itu, Warsi,” jawab Sarjan.
“Meski untuk masa depan anaknya?”
“Bukan persoalan masa depan.”
”Terus?” Warsi agak sengit.
“Beberapa teman bapak harus kehilangan pekerjaannya setelah masuk Desa Jentir,” ungkap Sarjan tegas.
“Cuma itu?” Warsi terus memburu.
“Kamu tahu kan, sampai sekarang tak seorang pun orang kabupaten atau kecamatan yang berani masuk Jentir. Takut sengkala*) itu, Warsi! Nasib jabatan dan dirinya akan hancur,” lanjut Sarjan. Warsi hanya diam. Tetapi embun hangat meleleh dari sudut kelopak beningnya. Membujur dari pipi hingga dagu.
Sementara Sarjan mengulai rambut Warsi untuk menenangkan kebuntuan hubungan mereka. Warsi pun meneguk kepedihan dan kehabisan jalan keluar. Akankah jalan lain harus ditempuh demi melanjutkan hubungannya?
“Aku tetap menyayangi kamu, Warsi,” seloroh Warjan.
“Apa gunanya? Jika karena aku dari Jentir, semua selesai!” Warsi melonjak membuat kekasihnya sangat terkejut. Gugup. Sejak itu hubungan Sarjan dan Warsi layaknya angin di sela runcing pepadian. Terus berhembus, membelai ringan, tetapi lesap tanpa ujung. Entahlah! Pematang basah itu kian panjang tanpa ujung.
Rumah-rumah kayu di Desa Jentir memang menyimpang rahasia kabut yang pekat. Sampai hari ini tidak satupun petinggi kabupaten atau kecamatan juga para aparat yang berani masuk Desa Jentir. Jika ada yang melanggar pantangan itu, maka dalam hitungan minggu atau bulan, jabatan orang yang berani masuk Jentir akan hilang. Dicopot, dipecat, hingga nyawa melayang. Akibatnya, Jentir bagaikan desa penuh kutukan dan jauh dari riuh-resah modernitas. Kenyataan itulah yang merubah segala perilaku orang-orang Desa Jentir.
Karena tidak ada aparat yang berani masuk Jentir, wajar jika desa itu menjadi sarang para blandhong*) Jati. Desa yang dikelilingi hutan adalah surga yang tidak ada habisnya. Dan Jentir memberikan rasa nyaman bagi mereka. Tidak heran jika hampir seluruh rumah penduduk terbuat dari kayu. Dan hampir setiap rumah pula selalu memiliki onggokan kayu jati siap jual. Jentir yang terisolir, Jentir yang menyenangkan bagi kebanyakan orang. Tetapi tidak bagi Warsi! Dia tetap duduk di teras rumahnya sambil menerawang kosong ke langit beku warna biru. Angin menggotong dedaunan terasa berat dan jatuh. Sepi di tepi hujan jati.
* * *
Suara garengpung*) berdenging memekakkan telinga. Saling bersahutan di antara ratusan pohon jati. Terkadang ditimpali suara lenguh burung dan cericit kelelawar hutan. Bising dan riuh. Suara konser alam itu pertanda malam telah turun menebar selimut gelapnya. Riuh-pekak dan nada sumbang binatang adalah irama pengantar tidur bagi warga Jentir. Ada kedamaian mengiringi rentak teriak binatang-binatang itu. Warsi terbawa liuk denging ribuan binatang, duduk di kursi kecil di dekat jambangan besar. Begitulah, jambangan seolah menjadi perabot wajib warga Jentir dan diletakkan di ruang tengah.
Mbah Bibit, kakek Warsi yang merawatnya sejak kecil, menghampiri cucunya yang gelisah. Lelaki yang dianggap sesepuh Desa Jentir tersebut, ikut duduk bersebelahan dengan Warsi. Diam. Hanya melihat gurat biru cucunya.
“Saya teringat ibu, Mbah,” seloroh Warsi.
“Kangen, Nduk?” gurau Mbah Bibit. Warsi hanya mengangguk lalu menunduk. “Mungkin ibumu sekarang juga sedang kangen?” hibur Mbah Bibit.
“Ibu pulangnya masih lama?”
“Yaa, namanya cari rejeki di negeri orang, nanti kalau duitnya sudah banyak, baru bisa pulang,” seloroh Mbah Bibit yang kerepotan juga menjawabnya.
“Masih lama?” kata Warsi dengan nama agak tinggi.
Mbah Bibit mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Kenapa sih, Nduk?”
“Apa betul, tidak semua orang berani masuk desa kita, Mbah?” tanya Warsi dan tentu membuat Mbah Bibit terkejut.
“Kenapa kamu bertanya begitu?”
“Cuma ingin tahu saja. Apa desa kita ini terkena kutukan?”
Pria yang rambutnya memutih itu menghela napas beberapa saat. Lalu menyulut rokok kreteknya dan bersandar di kursi seolah mengingat sesuatu.
“Memang pernah terjadi peristiwa aneh, entah kebetulan atau bukan, Mbah tidak tahu. Beberapa tahun lalu, ada serombongan orang dari kantor kabupaten meninjau Desa Jentir ini. Sepulang dari sini, mobil yang mereka tumpangi tertabrakan dengan bis di tikungan hingga semua meninggal. Pernah beberapa kali, seorang camat dan polisi dari kecamatan masuk Jentir, beberapa bulan kemudian jabatan mereka bernasalah,” terang Mbah Bibit.
“Apa hubungannya dengan Jentir?”
“Pundhen*) di selatan desa adalah danyang*) yang menurut cerita sesepuh dulu sangat membenci orang asing terutama pejabat yang masuk Jentir. Sehingga siapapun pejabat yang masuk desa sini maka akan turun pangkat atau bahkan meninggal,” terang Mbah Bibit.
Jawaban itu membuat perasaan Warsi sumpek. Dada terasa sesak dan ingin sebenarnya berteriak protes.
“Sudahlah, yang penting kita bisa hidup tenang di sini. Hidup apa adanya meski desa kita ini disiriki*) oleh siapapun?” imbuh Mbah Bibit.
“Warsi sadar, mengapa Warsi tidak punya teman.”
“Lho..lho..kok begitu. Silahkan Warsi berteman dengan siapa saja. Kamu itu ayu, Nduk?” seloroh Mbah Bibit dengan senyum. “Mirip seperti ibumu waktu muda dulu.”
“Tetapi kalau tinggal di desa ini, siapa yang mau berteman dengan Warsi?”
“Kok begitu berpikirnya,” Mbah Bibit menyernyitkan dahi sambil menghisap kreteknya kuat-kuat. Asap putih membumbung membungkus batin gundah Warsi.
“Kamu sudah punya pacar ya, Nduk?” tebak Mbah Bibit.
Warsi hanya diam. Sedikit melirik ke arah kakek yang terkekeh di sampingnya.
“Siapa?”
“Kang Sarjan, anaknya Carik Gondang,” jawab Warsi pelan. Tentu saja, Mbah Bibit terkejut. Tidak menyangka jika cucunya itu telah memiliki teman dekat atau tepatnya calon pendamping hidup. Mbah Bibit malah meledeknya.
“Kenapa tidak kamu ajak kemari, Nduk?”
“Takut.”
“Takut? Siapa?”
“Jentir!” seru Warsi.
“Apa hubungannya?” Mbah Bibit sedikit terbelalak.
“Apa berani nanti orang tua Kang Sarjan kemari melamar Warsi?”
Riuh rentak binatang hutang bagaikan terhenti sesaat, ketika Mbah Bibit mendengar pertanyaan Warsi. Jentir memang desa yang dijauhi para pejabat mulai orang kabupaten hingga pejabat desa. Konon, siapapun yang berani masuk Jentir, maka jabatan akan menjadi taruhannya. Bisa turun pangkat atau kehilangan jabatan itu. Hal itulah yang membuat Warsi selalu dirundung gelisah. Terkadang dia protes, mengapa harus lahir dan tinggal di Jentir? Untuk hal yang satu ini, Mbah Bibit tidak menjawab. Gusti yang maha kuasa lebih tahu semuanya.
Mbah Bibit juga mulai gelisah malam itu.
******
Malam purnama kedua. Bulan bulat dilingkari cincin keperakan, diam setegak pohon trembesi. Silir angin mengepakkan sayap dingin mengusik birahi. Sepi. Hening. Hanya cericit binatang menyambut kilau awan. Tetapi...Warsi hilang! Kabar itu menggemparkan warga Jentir. Warsi sang kembang desa menghilang dari kamarnya. Semula Mbah Bibit hanya menyangka cucunya itu pergi biasa. Tetapi setelah hampir dua hari tidak pulang, barulah kakek yang juga juru kunci makam keramat Desa Jentir itu sadar jika cucunya hilang.
Kini di hadapan para sesepuh desa, Mbah Bibit mengungkapkan kekhawatirannya. Berulangkali dia menghisap kuat-kuat kretek sambil menghela napas panjang dan dalam. Hilangnya Warsi membuat seluruh Jentir kelabakan karena baru pertama kali terjadi.
“Sebenarnya Warsi tidak hilang,” tiba-tiba kata Karto, salah seorang pemuda yang duduk agak pojok. Semua terbelalak mendengar pernyataannya yang memecah kebingungan.
“Lha terus kemana?”
“Menurut saya, Warsi hanya ingin keluar dari desa ini.”
“Iya, tapi apa masalahnya?” tanya Mbah Bibit dengan nada tinggi.
Semua terdiam. Seluruh pasang mata mengarah ke pemuda itu.
“Warsi sudah dewasa. Dan jika terus tinggal di desa ini bisa menjadi perempuan kasep*). Saya pikir begitu,” kata Karto sangat yakin. Semua masih belum berkomentar dan tenggelam dalam ungkapan Karto. Menimbang dan merenungkan.
“Apa omonganmu bisa dipercaya?” seloroh Mbah Bibit.
“Seperti terjadi pada Sinah anak Pak Kadir, lalu Yeni, Khotim, dan Lely anak Kang Jamil, semua meninggalkan Jentir,” jelas Karto.
“Terus?” Mbah Bibit terlihat sangat tegang.
“Seandainya saja, Warsi terus berada di Jentir, siapa yang berani datang ke desa ini dan melamar?” lanjut Karto.
Semua yang hadir di ruangan itu tidak ada yang berkomentar. Kabut Jentir turun dengan cepat membingkai cahaya bulan turun di pucuk dedaunan jati. Dari sorot mata mereka, sepertinya membenarkan ungkapan Karto tadi. Desa Jentir memang selalu ditinggalkan oleh perempuan-perempuan menjelang dewasa. Jentir adalah kutukan –mitos sampai saat ini—bagi perempuan tersebut. Maka Warsi harus rela sesaat –atau mungkin selamanya—meninggalkan sejuk damai Desa Jentir.
Mbah Bibit berjalan dengan langkah gontai menuju pelataran rumahnya yang sepi. Di bawah keremangan rembulan, napasnya bergerisik berbaur dengan keluh dedaunan. Warsi telah menjalani pilihannya. Dan Jentir juga telah menjalani kodratnya. Siapa berani masuk Jentir? Menyelinap di antara pepohonan Jati yang selalu tegak menantang matahari. Biarlah Jentir damai dalam kabut.
Warsi menari di antara cincin rembulan.***
Jombang, April 2011
Catatan:
01. Obak benteng : Permainan khas anak-anak Jawa Timur
02. Carik : Sekretaris desa
03. Sengkala : Marabahaya
04. Blandhong : Orang yang pekerjaannya mencuri kayu hutan
05. Garengpung : Sejenis jengkerik yang suaranya melengking
06. Pundhen : Tempat, biasanya makam yang dikeramatkan warga desa.
07. Danyang : Sesepuh atau yang memiliki kekuasaan mistis
08. Disiriki : Dihindari atau dijauhi
09. Kasep : Terlambat
------------------------------------------------
*) Cucuk Espe, Pimpinan Teater Kopi Hitam Indonesia dan - Terpilih Cerpenis Terbaik 2 International FolkFEST II 2010 di Bangkok, Thailand, Desember 2010.
Jalanan berbatu terasa beku sehabis hujan. Semalam mengguyur hingga Subuh melenguh dan kini kabut gelap menjadi selimut. Putih menusuk tulang. Langkah renta perempuan-perempuan desa bermain di kecipak air pematang. Musim tanam pagi baru saja dimulai. Pematang belum terlalu kering dan rerumputan belum sempat melebat. Matahari hangat menyelinapkan cahaya hangat. Desa Jentir mulai menunjukkan napasnya. Hidup di tengah kebersahajaan tanpa kesah.
Tetapi justru kebersahajaan itulah yang membuat Warsi harus menggulung senyum. Kehangatan udara Desa Jentir membuat batinnya makin gelisah seperti matahari yang selalu terhalang kabut. Duduk di kursi kayu jati tua, Warsi melihat anak-anak te****ang dada bermain obak benteng*) di jalanan yang sepi. Memang Jentir terletak cukup jauh dari riuh kecamatan. Jentir sebuah desa kecil di kelilingi areal persawahan dan hujan jati. Tak ada jalanan besar –meski sekelas jalan kecamatan yang ada hanya jalan desa dari tanah. Nyaman dibuat tempat bermain layaknya pelataran.
Tingkah anak-anak itu semakin lucu. Berlari dengan lugu, berteriak dengan sangat egois. Terkadang terjadi silang pendapat, saling adu mulut tetapi permainan tetap berlanjut. Anak-anak tidak memiliki gelisah dan batin gundah. Namun Warsi, di sela senyumnya terselip kerikil resah yang terus melenting di batinnya. Kecemasan yang semakin kuat membetot kesadarannya, hingga berhenti pada satu titik; mengapa aku lahir di Jentir?
Ah! Mungkin terlalu berlebihan jika disebut penyesalan. Sebab penyesalan Warsi tidak akan berguna, sebab garis nasib telah tergores tajam seperti jalan matahari menuju sudut caklawala. Nasib pula akhirnya meletakkan Warsi pada kesulitan besar untuk sedikit membengkokkan takdir dirinya. Keinginannya dilamar oleh Sarjan harus pupus karena dia dilahirkan di Desa Jentir. Orang tua Sarjan yang seorang carik*) dari Desa Gondang tidak berani memenuhi permintaan anaknya untuk melamar Warsi dari Desa Jentir.
Warsi menyadari hal itu sangat menyakitkan. Dia ingat ketika mengungkapkan kejengkelan kepada kekasihnya itu, Jumat pekan lalu.
“Kang Sarjan tidak membantah?” protes Warsi.
“Bapakku sangat mempercayai hal itu, Warsi,” jawab Sarjan.
“Meski untuk masa depan anaknya?”
“Bukan persoalan masa depan.”
”Terus?” Warsi agak sengit.
“Beberapa teman bapak harus kehilangan pekerjaannya setelah masuk Desa Jentir,” ungkap Sarjan tegas.
“Cuma itu?” Warsi terus memburu.
“Kamu tahu kan, sampai sekarang tak seorang pun orang kabupaten atau kecamatan yang berani masuk Jentir. Takut sengkala*) itu, Warsi! Nasib jabatan dan dirinya akan hancur,” lanjut Sarjan. Warsi hanya diam. Tetapi embun hangat meleleh dari sudut kelopak beningnya. Membujur dari pipi hingga dagu.
Sementara Sarjan mengulai rambut Warsi untuk menenangkan kebuntuan hubungan mereka. Warsi pun meneguk kepedihan dan kehabisan jalan keluar. Akankah jalan lain harus ditempuh demi melanjutkan hubungannya?
“Aku tetap menyayangi kamu, Warsi,” seloroh Warjan.
“Apa gunanya? Jika karena aku dari Jentir, semua selesai!” Warsi melonjak membuat kekasihnya sangat terkejut. Gugup. Sejak itu hubungan Sarjan dan Warsi layaknya angin di sela runcing pepadian. Terus berhembus, membelai ringan, tetapi lesap tanpa ujung. Entahlah! Pematang basah itu kian panjang tanpa ujung.
Rumah-rumah kayu di Desa Jentir memang menyimpang rahasia kabut yang pekat. Sampai hari ini tidak satupun petinggi kabupaten atau kecamatan juga para aparat yang berani masuk Desa Jentir. Jika ada yang melanggar pantangan itu, maka dalam hitungan minggu atau bulan, jabatan orang yang berani masuk Jentir akan hilang. Dicopot, dipecat, hingga nyawa melayang. Akibatnya, Jentir bagaikan desa penuh kutukan dan jauh dari riuh-resah modernitas. Kenyataan itulah yang merubah segala perilaku orang-orang Desa Jentir.
Karena tidak ada aparat yang berani masuk Jentir, wajar jika desa itu menjadi sarang para blandhong*) Jati. Desa yang dikelilingi hutan adalah surga yang tidak ada habisnya. Dan Jentir memberikan rasa nyaman bagi mereka. Tidak heran jika hampir seluruh rumah penduduk terbuat dari kayu. Dan hampir setiap rumah pula selalu memiliki onggokan kayu jati siap jual. Jentir yang terisolir, Jentir yang menyenangkan bagi kebanyakan orang. Tetapi tidak bagi Warsi! Dia tetap duduk di teras rumahnya sambil menerawang kosong ke langit beku warna biru. Angin menggotong dedaunan terasa berat dan jatuh. Sepi di tepi hujan jati.
* * *
Suara garengpung*) berdenging memekakkan telinga. Saling bersahutan di antara ratusan pohon jati. Terkadang ditimpali suara lenguh burung dan cericit kelelawar hutan. Bising dan riuh. Suara konser alam itu pertanda malam telah turun menebar selimut gelapnya. Riuh-pekak dan nada sumbang binatang adalah irama pengantar tidur bagi warga Jentir. Ada kedamaian mengiringi rentak teriak binatang-binatang itu. Warsi terbawa liuk denging ribuan binatang, duduk di kursi kecil di dekat jambangan besar. Begitulah, jambangan seolah menjadi perabot wajib warga Jentir dan diletakkan di ruang tengah.
Mbah Bibit, kakek Warsi yang merawatnya sejak kecil, menghampiri cucunya yang gelisah. Lelaki yang dianggap sesepuh Desa Jentir tersebut, ikut duduk bersebelahan dengan Warsi. Diam. Hanya melihat gurat biru cucunya.
“Saya teringat ibu, Mbah,” seloroh Warsi.
“Kangen, Nduk?” gurau Mbah Bibit. Warsi hanya mengangguk lalu menunduk. “Mungkin ibumu sekarang juga sedang kangen?” hibur Mbah Bibit.
“Ibu pulangnya masih lama?”
“Yaa, namanya cari rejeki di negeri orang, nanti kalau duitnya sudah banyak, baru bisa pulang,” seloroh Mbah Bibit yang kerepotan juga menjawabnya.
“Masih lama?” kata Warsi dengan nama agak tinggi.
Mbah Bibit mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Kenapa sih, Nduk?”
“Apa betul, tidak semua orang berani masuk desa kita, Mbah?” tanya Warsi dan tentu membuat Mbah Bibit terkejut.
“Kenapa kamu bertanya begitu?”
“Cuma ingin tahu saja. Apa desa kita ini terkena kutukan?”
Pria yang rambutnya memutih itu menghela napas beberapa saat. Lalu menyulut rokok kreteknya dan bersandar di kursi seolah mengingat sesuatu.
“Memang pernah terjadi peristiwa aneh, entah kebetulan atau bukan, Mbah tidak tahu. Beberapa tahun lalu, ada serombongan orang dari kantor kabupaten meninjau Desa Jentir ini. Sepulang dari sini, mobil yang mereka tumpangi tertabrakan dengan bis di tikungan hingga semua meninggal. Pernah beberapa kali, seorang camat dan polisi dari kecamatan masuk Jentir, beberapa bulan kemudian jabatan mereka bernasalah,” terang Mbah Bibit.
“Apa hubungannya dengan Jentir?”
“Pundhen*) di selatan desa adalah danyang*) yang menurut cerita sesepuh dulu sangat membenci orang asing terutama pejabat yang masuk Jentir. Sehingga siapapun pejabat yang masuk desa sini maka akan turun pangkat atau bahkan meninggal,” terang Mbah Bibit.
Jawaban itu membuat perasaan Warsi sumpek. Dada terasa sesak dan ingin sebenarnya berteriak protes.
“Sudahlah, yang penting kita bisa hidup tenang di sini. Hidup apa adanya meski desa kita ini disiriki*) oleh siapapun?” imbuh Mbah Bibit.
“Warsi sadar, mengapa Warsi tidak punya teman.”
“Lho..lho..kok begitu. Silahkan Warsi berteman dengan siapa saja. Kamu itu ayu, Nduk?” seloroh Mbah Bibit dengan senyum. “Mirip seperti ibumu waktu muda dulu.”
“Tetapi kalau tinggal di desa ini, siapa yang mau berteman dengan Warsi?”
“Kok begitu berpikirnya,” Mbah Bibit menyernyitkan dahi sambil menghisap kreteknya kuat-kuat. Asap putih membumbung membungkus batin gundah Warsi.
“Kamu sudah punya pacar ya, Nduk?” tebak Mbah Bibit.
Warsi hanya diam. Sedikit melirik ke arah kakek yang terkekeh di sampingnya.
“Siapa?”
“Kang Sarjan, anaknya Carik Gondang,” jawab Warsi pelan. Tentu saja, Mbah Bibit terkejut. Tidak menyangka jika cucunya itu telah memiliki teman dekat atau tepatnya calon pendamping hidup. Mbah Bibit malah meledeknya.
“Kenapa tidak kamu ajak kemari, Nduk?”
“Takut.”
“Takut? Siapa?”
“Jentir!” seru Warsi.
“Apa hubungannya?” Mbah Bibit sedikit terbelalak.
“Apa berani nanti orang tua Kang Sarjan kemari melamar Warsi?”
Riuh rentak binatang hutang bagaikan terhenti sesaat, ketika Mbah Bibit mendengar pertanyaan Warsi. Jentir memang desa yang dijauhi para pejabat mulai orang kabupaten hingga pejabat desa. Konon, siapapun yang berani masuk Jentir, maka jabatan akan menjadi taruhannya. Bisa turun pangkat atau kehilangan jabatan itu. Hal itulah yang membuat Warsi selalu dirundung gelisah. Terkadang dia protes, mengapa harus lahir dan tinggal di Jentir? Untuk hal yang satu ini, Mbah Bibit tidak menjawab. Gusti yang maha kuasa lebih tahu semuanya.
Mbah Bibit juga mulai gelisah malam itu.
******
Malam purnama kedua. Bulan bulat dilingkari cincin keperakan, diam setegak pohon trembesi. Silir angin mengepakkan sayap dingin mengusik birahi. Sepi. Hening. Hanya cericit binatang menyambut kilau awan. Tetapi...Warsi hilang! Kabar itu menggemparkan warga Jentir. Warsi sang kembang desa menghilang dari kamarnya. Semula Mbah Bibit hanya menyangka cucunya itu pergi biasa. Tetapi setelah hampir dua hari tidak pulang, barulah kakek yang juga juru kunci makam keramat Desa Jentir itu sadar jika cucunya hilang.
Kini di hadapan para sesepuh desa, Mbah Bibit mengungkapkan kekhawatirannya. Berulangkali dia menghisap kuat-kuat kretek sambil menghela napas panjang dan dalam. Hilangnya Warsi membuat seluruh Jentir kelabakan karena baru pertama kali terjadi.
“Sebenarnya Warsi tidak hilang,” tiba-tiba kata Karto, salah seorang pemuda yang duduk agak pojok. Semua terbelalak mendengar pernyataannya yang memecah kebingungan.
“Lha terus kemana?”
“Menurut saya, Warsi hanya ingin keluar dari desa ini.”
“Iya, tapi apa masalahnya?” tanya Mbah Bibit dengan nada tinggi.
Semua terdiam. Seluruh pasang mata mengarah ke pemuda itu.
“Warsi sudah dewasa. Dan jika terus tinggal di desa ini bisa menjadi perempuan kasep*). Saya pikir begitu,” kata Karto sangat yakin. Semua masih belum berkomentar dan tenggelam dalam ungkapan Karto. Menimbang dan merenungkan.
“Apa omonganmu bisa dipercaya?” seloroh Mbah Bibit.
“Seperti terjadi pada Sinah anak Pak Kadir, lalu Yeni, Khotim, dan Lely anak Kang Jamil, semua meninggalkan Jentir,” jelas Karto.
“Terus?” Mbah Bibit terlihat sangat tegang.
“Seandainya saja, Warsi terus berada di Jentir, siapa yang berani datang ke desa ini dan melamar?” lanjut Karto.
Semua yang hadir di ruangan itu tidak ada yang berkomentar. Kabut Jentir turun dengan cepat membingkai cahaya bulan turun di pucuk dedaunan jati. Dari sorot mata mereka, sepertinya membenarkan ungkapan Karto tadi. Desa Jentir memang selalu ditinggalkan oleh perempuan-perempuan menjelang dewasa. Jentir adalah kutukan –mitos sampai saat ini—bagi perempuan tersebut. Maka Warsi harus rela sesaat –atau mungkin selamanya—meninggalkan sejuk damai Desa Jentir.
Mbah Bibit berjalan dengan langkah gontai menuju pelataran rumahnya yang sepi. Di bawah keremangan rembulan, napasnya bergerisik berbaur dengan keluh dedaunan. Warsi telah menjalani pilihannya. Dan Jentir juga telah menjalani kodratnya. Siapa berani masuk Jentir? Menyelinap di antara pepohonan Jati yang selalu tegak menantang matahari. Biarlah Jentir damai dalam kabut.
Warsi menari di antara cincin rembulan.***
Jombang, April 2011
Catatan:
01. Obak benteng : Permainan khas anak-anak Jawa Timur
02. Carik : Sekretaris desa
03. Sengkala : Marabahaya
04. Blandhong : Orang yang pekerjaannya mencuri kayu hutan
05. Garengpung : Sejenis jengkerik yang suaranya melengking
06. Pundhen : Tempat, biasanya makam yang dikeramatkan warga desa.
07. Danyang : Sesepuh atau yang memiliki kekuasaan mistis
08. Disiriki : Dihindari atau dijauhi
09. Kasep : Terlambat
------------------------------------------------
*) Cucuk Espe, Pimpinan Teater Kopi Hitam Indonesia dan - Terpilih Cerpenis Terbaik 2 International FolkFEST II 2010 di Bangkok, Thailand, Desember 2010.
0 comments:
Post a Comment