BEBAS ITU CINTA DAN IMAJIKU
Karya : Agustina Pringganti
Prolog
Angin mulai berdesir, merenggut kehangatan mentari. Aku bimbang, mencoba tegak dalam pendirian dan harapan. Aku selalu bertanya pada pikiran, “apa itu kebebasan?”. Sesungguhnya tak pernah aku dapatkan definisi yang mutlak. Semuanya konservatif dan tentatif. Aku ragu, akan hidupku sendiri. Aku benci pada pikiranku yang tak tentu. Senja sudah di pelupuk mata, langit sudah jingga, kalau Seno Gumira Aji bilang senja keemasan. Namun tetap saja kebimbangan dan kegalauanku belum selesai. Fria pernah katakan padaku bahwa niscaya nya manusia itu tak pernah bebas, bahkan dari pikirannya sendiri. Tapi aku pernah merasa begitu nyaman dengan pikiranku, imaji-imaji yang aku buat-buat sendiri membawaku kedalam dunia-dunia ketika para mahasiswa dan pemerintah berjabat tangan dengan eratnya, tak ada lagi tangis-tangis kelaparan bocah-bocah di jalanan. Tak ada lagi kepalan-kepalan tangan para demonstran di depan gedung DPR. Dimana stasiun UI penuh berjejalan dengan mahasiswa yang menenteng buku-buku tebal intelek, tapi masih semangat untuk menawar buku-buku bekas yang harganya relatif murah di belakang rel. Bukan, bukan buku-buku semacam kedokteran, fisika, hukum atau semacamnya yang kumaksud . Tapi buku-buku yang didalamnya berisi kecantikan uraian kata-kata, makna-makna susastra yang membawamu pada kebebasan hakiki untuk berimajinasi. Nyatanya, mall masih lebih ramai dengan diskonan sepatu dan kaus bermerek asing yang walaupun sudah diberi potongan harga, masih cukup untuk memberi makan 1 keluarga miskin selama seminggu.
Namun Nikyta, ya kawanku yang berambut nyaris gimbal dan bergaya natural hipster itu bilang, “Ra, bebas itu seperti ini. Ketika kamu tidak punya tanggungjawab untuk mencuci rambutmu atau mengganti celana jeansmu”, aku enggan menjawab. Setiap orang memiliki definisi atas kebebasannya masing-masing. Tapi aku, masih disini berjalan gontai memandang sepatu keds ku yang harganya lumayan mencekik leher ibuku, yang aku beli 5 tahun lalu dan sekarang sudah penuh gompal-gompal tambalan. Tapi aku selalu suka melihatnya, kebiasaan ini membuatku lebih aman untuk bergalau ria. Berperang batin. Walau terkadang kebiasaan ini membawa petaka padaku, aku pernah menabrak gagang dorongan sebuah gerobak bakso yang sedang mangkal di pinggir jalan. Ulu hatiku begitu sakit. Regizzo dengan perut gembulnya terbahak-bahak tapi menurutku tawanya sangat garing. Namun, ada sebuah pelajaran yang kudapat maksudku ku analisis sendiri. Ternyata tak bagus juga selalu memandang kebawah, kau akan sering lupa bahwa ada aral didepan matamu.
Entah aku naif atau apa, tapi aku coba untuk jalan dengan menengadah keatas, memandang langit yang lebam. Alih-alih aku malah tersandung sebuah lubang galian, badanku terperosok ke aspal. Kali ini tak hanya Regizzo yang tertawa terbahak-bahak, tapi juga Fria, Nikyta dan Mars . Mulut mereka sampai terkatup-katup tertawa sambil bernafas. Tak baik juga berjalan selalu melihat keatas, kau akan sering lupa bahwa ada sesuatu dibawahmu yang perlu diperhatikan, lututmu akan sering korengan dan tanganmu akan sering lecet.
Ternyata bukan seperti ini kebebasanku, aku tak bisa berjalan sambil terus melihat ketas atau kebawah. Aku memiliki kewajiban untuk melihat kedepan lalu sesekali melihat keatas dan kebawah.
Namun, hari ini beda. Tak ada Fria, Nikyta , Regizzo dan Mars bersamaku. Kebiasaanku berpikir sambil memandang keds-ku berjalan lagi secara masif. Bahkan aku tak hiraukan jika aku harus tertabrak apapun, akan kunikmati sakit itu sebagai sebuah kebebasan. Ya, bebas menikmati. Menikmati apapun yang kualami, menikmati apapun yang kudapat hari ini. Sekalipun itu adalah sebuah sakit.
Mars
Mars. Ya, aku merasa paling nyaman berbincang dengan sahabatku yang satu ini. Biar kujelaskan lebih rinci. Mars adalah mahasiswa Ilmu Filsafat, ia satu kampus dan fakultas denganku. Perawakannya tinggi, tegap dengan kumis tipis dan garis rahang yang tegas. Ada tato di lengan kirinya, entah apa maknanya, setiap kutanyakan ia hanya tersenyum pasif. “Mars, kapan kamu berangkat ke Yunani?”, aku berujar mengagetkan Mars. Mars menyeruput Black Magicnya.
“Mungkin libur UAS, Ra”, ia menjawab sekenanya. Aku mengerutkan kening, Mars tersenyum manis sekali, “aku sudah beli tiket”. “Jadi kapan? Tanggal berapa?”,aku memastikan.
“Sekarang masih rahasia, nanti kuberi tahu kalau sudah dekat waktunya. Libur UAS masih lama kok, Ra”,aku merengut manja, Mars mengacak-acak rambutku lalu menyeruput kembali Black Magic-nya. Aku heran dengan Mars, ia begitu mencintai dunia Filsafat dan Teater. Banyak filosofi-filosofi para filsuf yang ia ajarkan padaku, tak hanya ia katakan tapi ia jelaskan.
Waktu itu kami berlima sedang ribut dan bertentangan pendapat tentang perbedaan antara benar dan tepat. Regizzo bilang benar itu mutlak, kalau tepat itu tergantung situasi dan kondisi. Lalu, Mars menengahi debat kusir kami, “pernah dengar Herakleitos?”, kami semua menggeleng. “Dia filsuf dari Efesus, seangkatanlah sama Phytagoras.” Kami semua tau Mars akan bicara tidak jauh-jauh dari filsafat. Semua dianalogikannya dengan pemikiran logika filsafat. Kadang aku setuju, kadang aku defensif dengan pemikiranku sendiri.
“Perang adalah bapak segala sesuatu”, Mars mulai berfilosofi. Kami terperangah, kami masih belum menangkap apa maksud Mars. “Kalian pasti pernah dengar pepatah-pepatah yang bilang, ‘kalau tidak pernah gagal,kita tidak akan tau rasanya menang’ kan?”, tentu saja kami tau walaupun tak ada kepastian siapa yang mengucapkannya pertama kali, kami mengangguk. “Begitulah kira-kita maksud Herakleitos dalam filosofinya. Masih relevan kan dengan kehidupan kita sekarang. Setiap pertentangan mengajarkan kita keadilan, kita akan menghargai kaya jika pernah miskin, kita akan menyia-nyiakan kehidupan jika tidak ada keabsolutan kematian. Dan kita tidak akan pernah tau apa itu benar jika tidak pernah salah. Ia juga pernah mengatakan bahwa tidak ada kepastian dalam hidup ini, yang ada ialah proses menjadi”, aku menatap dalam-dalam mata Mars. Ada binar keyakinan dimatanya, disetiap uraian kata-katanya. Aku terjebak dalam jeda panjang tanpa ruang. Entah apa yang sedang kupikirkan dan kurasakan. Aku ingin merasuki jiwa Mars, merasakan setiap denyut dari nadinya. Mengikuti alur pikirnya, merasakan kecintaannya pada filsafat. Ia seperti bebas. Ya bebas sekali.
“Ra..Sierra...Sierra. Hei...”, teguran Mars dan tatapan sahabat-sahabatku membuyarkan lamunanku. “Ehem, ya... Jadi? Apa maksudmu?,” aku bertanya seperti itu untuk menghapus salah tingkahku. Fria berbisik ditelinga kananku, “aku tau dadamu berdegup kencang saat menatap Mars.” Nikyta cekikikan kecil, sungguh menyebalkan.
“Ya, jadi maksudku semuanya hanyalah proses. Pertentangan-pertentangan pun sebuah proses, proses menjadi adil. Proses untuk menjadi benar, proses untuk menjadi tepat. Tak usahlah kalian bahas pengertiannya secara etimologi. Analisis saja menggunakan logika kalian. Dan nikmati proses itu,”. Mars berceloteh panjang tentang hasil-hasil pemikirannya. Aku masih rancu, tak bisa aku telan mentah-mentah yang Mars katakan. Aku harus memikirkannya lagi sebelum mengambil kesimpulan benar atau salahnya. Tapi ia bilang semuanya proses, hm aku tambah runyam dengan pikiranku. Anggap saja inilah proses, proses berpikir untuk menjadi seorang manusia seutuh-utuhnya. The Thinker maksudku.
“Ra...Sierra...Sierra. Hei...”, Mars membuyarkan lamunanku. Seperti de javu. “Ah, ya Mars,”aku tergagap menjawabnya.
“Pergi yuk, aku sudah bosan disini. Setiap jalan berdua kita kesini melulu,”kata Mars, ah entah kenapa kalimat ‘setiap jalan berdua’ membuat darahku berdesir. Apa yang telah menghampiriku, aku tak tau. Pipiku seperti memanas saat Mars menggandeng tanganku keluar dari gerai Es Pocong. Padahal sesungguhnya ini bukan sesuatu yang hanya ia lakukan padaku, ia juga melakukannya pada Fria dan Nikyta bahkan pada Regizzo sekalipun dan pada Meissy.
Ya Meissy, sedikit banyak aku benci padanya. Ia adalah seorang model, gadis yang cantik, gaul dan ambisius. Sudah ratusan kali ia melenggak-lenggok anggun di atas catwalk dan menjadi buruan para wartawan. Beruntungnya ia memiliki fisik yang menjadi impian para gadis pada umumnya. Namun, bukan itu yang membuatku benci padanya. Aku benci padanya karena ia pandai menggambar setidaknya gambarnya jauh lebih bagus daripada gambarku dan Mars pernah memujinya. Aku cemburu. Entahlah.
Aku tak mengerti kenapa Mars selalu menebar benih cinta pada hati setiap gadis, pernah beberapa kali aku memergoki Meissy menggambar sketsa wajah Mars. Dan puncaknya aku melihat mereka berdua makan mie yamin di depan kampus. Aku terperanjat, seorang Meissy, model dengan gengsi tinggi mau makan di kaki lima pinggir jalan, dan parahnya ia memberikan kanvas hasil lukisan sketsa wajah Mars dan Mars tersenyum, senyumnya penuh makna. Aku iri pada Meissy yang bisa dengan bebas mengekspresikan perasaannya pada Mars. Sementara aku, sibuk sendiri dengan ketakutan yang membelenggu kebebasanku. Sibuk menuliskan perasaan-perasaan yang tak dapat kuutarakan. Sibuk dengan pikiranku sendiri bahwa aku terkekang. Sibuk mengira-ngira apakah Mars mencintai Meissy.
Malam itu
Mars mengajakku untuk ikut latihan teater dengannya. Aku menggeleng, menarik tanganku dari genggamannya. Aku kapok ia ajak, waktu itu aku pernah disuruh ikut audisi untuk pementasan teaternya. Sungguh berakting bukan bidangku. Aku tak katakan bahwa aku tak bisa akting, tapi bakat aktingku untuk tampil dimuka umum belum terasah. Aku hanya biasa akting didepan ibu, ketika disuruh beli kamus bahasa inggris yang beratnya kira-kira 2 kilo dan harganya nyaris setengah juta. Aku malah beli kamus bajakan yang harganya hanya sepertiga dari harga aslinya. Sisanya aku belikan buku-buku kumpulan puisi atau cerpen dan novel. Tapi kalau akting dimuka umum, urat maluku seperti menegang nyaris putus. Air mataku mengalir deras, tapi yang aneh orang-orang itu malah bertepuk tangan. Mars menghampiriku, membawa kepalaku ke dadanya dan mengajakku keluar.
Tapi kali ini ia berjanji tidak akan menyuruhku berakting lagi, aku menyanggupi. Kami berjalan beriringan ke kampus. Di perjalanan, aku masih berpikir tentang Mars. Aku melihat ia sungguh bergitu ringan, seolah semua hidupnya tak miliki beban, bagai ia punya sayap untuk terbang. Ia dapat dengan bebas berbicara tentang pikiran-pikirannya, ia dapat dengan bebas berlakon menjadi apapun diatas panggung, ia pun seperti merasa bebas dengan pikiran-pikirannya sendiri.
Sesampainya di kampus, Mars meminta izin untuk mengganti kemejanya dengan kaus oblong. Setelah aku iyakan, ia berlalu ke kamar ganti. “Sierra....”, ada suara yang sangat kukenal. Benar saja Nikyta dan Fria, mereka melambai-lambaikan tangannya.
“Sedang apa kalian?,”aku memandang heran, mereka berdua malam-malam seperti ini mengenakan jaket almamater. “Kita habis demo didepan rektorat,”jawab Fria sehabis menenggak botol air mineralnya. “Untuk apa?,”tanyaku bingung.
“Ra, kamu tau kan masalah yang lagi terjadi berkaitan dengan rektor di kampus kita?,”aku mengangguk saja. “Ya karena itu kita demo, menuntut keadilan dan perbaikan,”jawab Nikyta. “Kamu kok tidak ikut demo tadi? Lumayan banyak yang demo, bahkan anak-anak seperti Nikyta ini juga ikut demo, tentunya tetap dengan celana jeans belel dan kaus lengan buntung yang dilapis jaket almamater,”jelas Fria sambil tertawa renyah dan mengaduh saat disikut Nikyta.
Aku tersenyum kecut dan menjawab seadanya, “ibuku tak pernah lupa berpesan supaya aku tidak ikut demo. Dia takut aku mati ketika memperjuangkan kebeneran dan keadilan, ayahku juga tak pernah lupa berpesan walaupun kita jarang sekali bertemu bahwa aku harus lulus 3,5 tahun, Cumlaude, pintar berbahasa inggris dan bekerja di perusahaan asing dengan gaji yang besar. Ia takut aku miskin. Aku tak memiliki kebebasan untuk menyuarakan apa inginku. Aku tak miliki kebebasan untuk merasakan dinginnya udara gunung seperti Regizzo, aku tak miliki kebebasan untuk berlakon di panggung seperti Mars, aku tak miliki kebebasan untuk menjadi aktivis seperti kamu Fria dan aku tidak miliki kebebasan untuk mengenakan apa yang buatku nyaman dan pergi kemanapun sepertimu Nikyta. Aku tak memiliki kebebasan seperti kalian kebanyakan,” aku menghela nafas panjang dan berlalu meninggalkan Fria dan Nikyta yang masih terpaku mendengar penuturanku.
Aku berjalan menaiki tangga, seperti biasa sambil memandang keds-ku. Betapa indahnya kebebasan, pikirku. Disaat, aku ingin sekali meneriakkan keadilan aku terkekang dengan pesan ibuku. Disaat aku ingin sekali menjadi pejuang yang rela berkorban aku dibayang-bayangi pesan ayahku. Aku terdoktrin, nanti aku harus kaya. Tak perduli ada yang kelaparan di pinggir rel, atau ada yang harus menjual badannya hanya untuk sekadar makan. Ada yang harus kehilangan harga diri demi biaya pendidikan anaknya yang diharapkan bisa memutus rantai kemiskinan. Bukankah tak ada yang lebih mengerikan ketimbang kehilangan nurani?
“Hayo, kamu lagi mikirin apa?,” Mars mengagetkanku. “Bukan apa-apa, kamu tak akan pernah mengerti. Karena kamu memilikinya,”aku berjalan mendahului Mars.
“Maksudmu apa?,” Mars terlihat penasaran. Aku membisu, tak kukatakan sepatah katapun. Mars menarik lenganku. “Aku sering melihatmu begitu ingin menangis, aku selalu menunggunya,”.
“Menunggu apa? Menunggu aku menangis? Kamu sinting ya, Mars?,”nadaku datar. “Kamu tau, kaca setebal apapun bisa pecah, karang sekuat apapun bisa kalah dengan ombak,”aku mengerti apa maksudnya, tapi aku diam saja. Beberapa teman teater Mars memandangi kami yang berdiri persis didepan pintu ruang latihan.
Mars merasa tak nyaman, apalagi aku. Ia menarikku kebawah. Hari sudah malam, dewinya pun sudah berbincang dengan bintang. Kampus sudah mulai sepi, Mars membawaku ke sebuah bangku di bawah sebuah pohon yang selalu menitikkan air.
“Kamu terlalu rapuh untuk selalu diam, Sierra,“ Mars memecah keheningan.
“Aku tidak pendiam, kamu tau tertawaku yang paling kencang diantara kita berlima.”
“Tapi tertawamu juga yang paling pedih yang pernah kudengar diantara kita berlima.”
Aku defensif. Aku tak ingin Mars membuat air mataku tumpah. Selama ini aku selalu berhasil menyembunyikan tangisku didepan Fria, Nikyta, Regizzo bahkan Mars.
“Tulisan-tulisanmu...hem aku suka,” Mars tiba-tiba saja menyinggung tulisan-tulisanku. Aku hanya mempublikasikan tulisan-tulisanku dikertas-kertas tugas dan di blog. Itupun tak pernah ada komentar, tak ada yang tertarik membaca blog-ku. Isinya puisi tentang perjuangan, cinta dan kebebasan. Juga beberapa cerpen yang aku buat zaman SMA.
“Batinku sedang berperang...
Berkecamuk segala perasaan,
Mencambuki tiang-tiang pendirian
Mengguratkan luka-luka pada dinding-dinding perasaan.
Belenggu, menjadi racun segala akar pemikiran
Benang yang mengekang pun dapat melukai
Membuat pedih, perih...
Aku ingin te****ang, te****ang dari semua kemunafikan tanpa nurani
Aku ingin te****ang dari semua kekangan
Aku ingin kehidupan berlandaskan cita-cita kebebasan...”
Itu puisi yang aku buat, itu puisi yang aku post di blog sekitar 5 bulan yang lalu. Mars hafal? Mars hafal diluar kepala? Apa ia hanya ingin mengejekku atau bagaimana? Ini bulan November kan? Ini bukan tanggal 1 April kan? Bukan lelucon kan? Mars!
“Kamu bahkan masih diam,” Mars berujar meminta penjelasan. “Aku tak tahu, Mars “ aku mulai menitikkan air mata, “ibu dan ayahku tak mengerti, aku ingin menjadi penulis bukan bekerja di perusahaan asing dan menjadi budak para kapitalis. Aku ingin berguna, bagi bangsa ini agar menjadi lebih baik. Tapi...tapi...”, aku sesenggukan, dadaku naik turun.
Mars menyandarkanku ke bahunya, ia tak mengeluarkan suara apapun. Hanya desah nafasnya yang kudengar. Berkecamuk segala macam perasaan dan pertanyaan di hatiku, apakah ia juga melakukan ini pada Meissy? Ah, entahlah. Yang jelas detik ini Mars bersamaku, menemaniku menangis. Kausnya basah terkena rembesan air mataku. Meissy tak mungkin menangis, hidupnya sudah demikian sempurna.
Pasar Senen
Aku memiliki janji dengan Regizzo diujung gang tempat kost-ku. Ia janji akan menjemputku pukul 1 siang. Tapi jam sudah menunjukkan pukul 1 lewat 10 dan belum ada kabar darinya. Kami berencana pergi ke Pasar Senen. Regizzo hendak membeli sepatu basket bekas, beberapa sweater, kaus dan celana jeans bekas. Aku berencana membeli beberapa buku bekas saja.
“Maaf, Ra” Regizzo tertawa menunjukkan deretan giginya yang putih. Hari ini ia membawa motor bebek yang sudah dimodif kesayangannya. Tadinya aku menyuruhnya untuk bawa mobil saja, tapi berhubung Fria harus rapat mengkaji tata kelola kampus yang sedang bermasalah bersama Badan Eksekutif Mahasiswa, Nikyta yang sudah memiliki rencana untuk mengamen dengan komunitas natural hipsternya dan Mars harus menjadi pembawa acara sebuah seminar di kampus jadi akhirnya diputuskan agar Regizzo membawa motor saja.
Panas matahari sangat menyengat kulit, seakan-akan ada setrikaan panas yang ditempelkan ke betis kaki dan tanganku. Regizzo tiba-tiba membawa motornya ke tepi jalan, ia membuka jaket dan melemparkannya padaku. Ia tak bicara sepatah katapun, ia langsung mengendarai lagi motornya menuju tempat tujuan. Aku sempat tersentak kaget, lalu kukenakan saja jaket pinjaman Regizzo. Kebesaran.
“Zo, kenapa harus beli sweaternya di Pasar Senen?,”tanyaku. “Supaya tetap kelihatan ganteng dengan sweater bermerek ya mau tidak mau disana tempatnya, Ra,”jawab Regizzo.
“Di mall kan banyak.”
“Mahal, Sierra. Kalau kamu bisa dapat barang bagus dengan harga murah, kenapa tidak? Lagipula belanja di Pasar Senen itu ada seninya. Kamu bisa lihat banyak jenis manusia disana. Ada yang miskin sampai yang kaya. Ada yang keren sampai yang aneh. Yang pasti semua orang yang mau belanja disana itu adalah pejuang-pejuang estetika penampilan,” Regizzo menjelaskan lalu tertawa. Aku ikutan tertawa, “bodoh kamu.”
“Kapan naik gunung lagi, Zo?”
“Rencananya Desember, Ra. Mudah-mudahan bisa sampai di puncak tepat tanggal 1 Januari, sekalian merayakan tahun baru disana.”aku diam, hanya ada suara klakson-klakson berperang antara angkot dan mobil pribadi. “Mau ikut, Ra?”sambung Regizzo.
“Pertanyaan bodoh,”jawabku ketus.
“Ya pertanyaan bodoh yang selalu aku tanyakan, dan kalau tidak salah 19 kali kamu jawab dengan inti yang sama ‘aku mau ikut, tapi mamaku tak mengizinkan’, ‘disana apa bisa mati?mamaku takut aku mati’, ‘kamu tolong izinkan ke orang tuaku, aku takut’, ‘ya nanti, setelah orang tuaku pergi meninggalkanku selamanya’, ‘orang tuaku masih hidup, Zo aku belum bisa naik gunung’, dan alasan-alasan lain yang pokoknya kamu tidak diizinkan naik gunung,”tukas Regizzo. Aku tersenyum masam. Regizzo masih ingat jawaban-jawabanku, memang terdengar agak sarkastik. Tapi bukan berarti aku tak mencintai orang tuaku.
Aku mencintai mereka, sangat. Terlebih ibuku. Tapi terkadang aku tak nyaman dengan cara mereka mencintaiku, cinta mereka yang bagai benang pengekang yang mengguratkan luka-luka di batinku. Aku hanya ingin menikmati hidup, merasakan alam. Regizzo pernah suatu waktu mengatakan, “di gunung itu kita tidak butuh uang, Ra tapi keberanian. Alam mendidik kita menjadi lebih tangguh, dan kita akan merasa bebas. Bebas dari apapun, bebas dari kemunafikan orang-orang di bawah sana yang bersesakkan mencari lembar-lembar rupiah. Di gunung kita tetap diberi makan oleh Tuhan, caranya saja yang berbeda.”
Demi Tuhan aku ingin mencoba, aku ingin merasakannya. Paling tidak sahabat-sahabatku yang lain, Fria, Nikyta dan Mars pernah naik gunung. Fria sekali, Nikyta dan Mars dua kali. Mereka membawa pulang cerita-cerita dan pelajaran yang mereka dapat diatas sana. Walau tak jarang, luka dan memar menghiasi tubuh mereka. Tapi mereka bilang, “luka ini tidak seberapa dibanding hal-hal yang kita dapat dari perjuangan kita mendaki gunung,”waktu itu pendakian mereka yang pertama kali ke Gunung Rinjani, tahun lalu sampai di puncak tepat pada tanggal 17 Agustus. Nikyta pernah berkata, “naik gunung tidak kalah seru dengan mengamen di perumahan elit. Butuh perjuangan, di perumahan elit aku diajari untuk berlari kencang karena sering dikejar anjing. Di gunung aku dididik untuk berjalan jauh.” Kami semua tertawa mendengar penuturan Nikyta.
“Ra,” Regizzo mencoba menyambung lagi perbincangan kami.
“Ya?”jawaku singkat.
“Percaya sama aku, nanti kamu bisa kok naik gunung,”ucap Regizzo. Aku hanya tertawa dan mengiyakan perkataannya. Namun ini bukan sekadar naik gunung, bukan cuma naik gunung inginku. Aku ingin miliki kebebasan merancang hidupku. Menikmatinya. Menyesap udara pagi dan menyadari bahwa yang akan kulakukan hari ini adalah karena aku hidup, bukan karena permintaan orang lain bahkan orang tuaku sendiri.
Akhirnya kami sampai juga di Pasar Senen, orang-orang berjejalan di sela-sela jalan. Menenteng tas-tas besar berisi berlanjaan. Mengipas-ngipaskan tubuhnya sambil berdagang air minum. Sungguh bernegasi dengan mall-mall sekelas Senayan City atau Pondok Indah, bahkan mall-mall lainnya. Kami masuk ke sebuah gerai buku bekas, aku mulai mencari-cari buku. Aku mengambil satu buku karya Pramoedya Ananta Toer, judulnya Bumi Manusia. Entah bagaimana isinya tapi ini menarik perhatianku. Buku ini sudah lama aku perhatikan setiap aku melewati gerai toko buku bekas di belakang rel stasiun UI. Aku menanyakan berapa harga buku itu dan langsung membayarnya tanpa menawar, lalu kami berlalu menuju gerai toko baju bekas. “Kok kamu tidak menawar, Ra?”. Regizzo kelihatan heran.
“Harganya patut kok, Zo. Tidak perlu ditawar.”jawabku sambil memasukkan buku itu ke tasku. “Harusnya tetap menawar, Ra. Bukan kesepakatan harga yang menjadi masalahnya. Tapi dengan kamu menawar akan ada komunikasi diantara penjual dan pembeli. Tidak peduli berapa harga yang akan kalian sepakati, tapi dalam aktivitas tawar-menawar ada yang kamu dapat. Mereka akan sangat senang sekali jika pembeli mau mengobrol sesaat saja dengan orang kecil seperti mereka.”jelas Regizzo. Aku mengangguk-angguk. Tak pernah terpikir sekalipun olehku, naif sekali aku. Mengira mereka hanya menginginkan uangku.
Kami pulang sekitar pukul 4 sore. Regizzo menenteng belajaannya yang seabrek. Aku sempat tertawa terbahak-bahak saat ia menawar sweater merek polo yang memang keren sekali. Akhirnya ia mendapatkan sweater itu dengan harga yang turun 10.000 dari harga sebenarnya. Tapi ia ngotot sekali menawarnya, si abang penjualnya pun sampai kehabisan kata-kata. Regizzo juga membelikanku selembar sweater, warnanya biru laut. Agak kelonggaran, tapi aku suka. Warnanya agak sudah sedikit kumal, tak seperti baru lagi. Tapi tetap keren. Ia memberi tips, sebelum dipakai, baju-baju ini harus direndam dulu dengan air panas agar kuman-kumannya mati, baru dicuci dengan sabun cuci seperti biasa dan jangan lupa direndam dengan pewangi pakaian. Regizzo memang pejuang estetika penampilan sejati.
Senja Oranye
Aku, Mars, Fria, Nikyta, Regizzo dan Meissy sedang duduk bersila di pinggir jalan depan kampus. Sibuk dengan mie yamin masing-masing, hanya Nikyta dan Regizzo yang ramai saling berebut pangsit. Entah apa yang membuat Mars mengajak Meissy, apa sebenarnya hubungan mereka aku tak mengerti. Mie yamin ku yang super pedas sudah ludes, tergilas oleh kunyahan-kunyahanku yang penuh rasa kesal dan sesal. Kenapa tadi aku tidak pulang saja ke kosan dan menolak ajakan Mars?
Setelah makan, Meissy langsung menenggak air mineralnya dan pamit ke kamar mandi. Mars memandangi punggung Meissy yang bertolak ke kamar mandi. 10 menit Meissy belum kembali, kami tak menyadarinya hanya Mars yang bangkit dari tempatnya dan berjalan menuju kamar mandi.
Satu jam berlalu dan Mars maupun Meissy tak kembali. Apa yang mereka lakukan, pikiranku berkecamuk. Apa mereka sedang asik berduaan di kamar mandi, lalu apa yang mereka lakukan? Sialan. Hatiku tak tenang. Aku bangkit dari tempatku. “Kamu mau kemana, Ra?”, Nikyta berteriak. Regizzo juga bangkit dari tempatnya dan membayar mie yamin pesanan kami. Tergopoh-gopoh langkah mereka mengejarku.
Aku tendang pintu kamar mandi. Kosong. Tak ada siapapun. Apa? Kenapa? Mungkinkah ini rencana mereka? Meninggalkan kami semua? Mars tak mungkin seperti itu. Ya Tuhan mengapa aku berpikiran jahat tentang Mars?
Regizzo, Fria dan Nikyta tak mengucapkan apa-apa. Mereka hanya mengikuti langkahku. Aku duduk di bangku, tempat pertama kalinya aku menangis didepan Mars. Senja menyemburatkan sinarnya yang oranye, mentari sebentar lagi ditelan langit malam. “Sierra, aku tau perasaan cemburu itu sungguh tidak enak.” Tiba-tiba saja Fria nyeletuk. Regizzo memutar bola matanya, lalu memandangku penuh tanya.
“Beruntung sekali Meissy, Mars baik sekali,”aku berbicara dengan tatapan kosong ke langit yang oranye. “Meissy dan Mars cocok bersanding. Mereka sama-sama manusia bebas dan nyaris sempurna.”
Terdengar bunyi dering ponsel Regizzo. “Ya, halo..Oke, Mars.”
Mars kah yang menelepon? Aku memandang Regizzo penuh tanya dan harap. “Ayo, ikut aku,”Regizzo tak menjawab apapun.
Kebebasan kami
Kami sampai di sebuah rumah sakit di bilangan Depok. Aku tak henti-hentinya bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang terjadi. Aku tak pernah suka bau rumah sakit. Aku hampir enggan masuk, kalau bukan karena Mars. Kami naik lift ke lantai 3, Mars sedang duduk menunduk di sebuah bangku depan kamar rumah sakit. Kami segera menghampirinya, “Meissy kenapa?”, Regizzo langsung menyela. Apa? Meissy kenapa? Aku membisu.
“Ada yang tak pernah aku ceritakan pada kalian. Sekarang sepertinya sudah saatnya.”tutur Mars. “Meissy menderita bulimia nervosa, kalian tau penyakit ini sering dialami oleh model seperti Meissy. Ia makan sebanyak-banyaknya lalu kembali memuntahkannya. Ini mengganggu kesehatan fisik dan psikologisnya. Aku sempat mencoba menghentikannya, tapi ternyata gagal,” Mars terlihat kecewa sekali. Aku pernah sesekali mendengar penyakit itu, biasa terjadi pada model atau wanita-wanita yang merasa bermasalah dengan berat badan. Memakan apapun sebanyak-banyaknya lalu kembali memuntahkannya. Kasihan sekali Meissy, ia tak pernah bebas menikmati makanannya. Ia tak sebebas yang ia kukira, ia harus menjaga agar tubuhnya tetap kurus. Ia terikat peraturan itu dengan manajemennya.
“Aku gagal, aku gagal menjaganya.”tak pernah kulihat Mars sekalut itu. Dapat kusimpulkan, ia mencintai Meissy. Bukan karena kenyarissempurnaan Meissy tapi karena itulah cinta. Aku berjalan gontai ke kamar tempat Meissy dirawat, aku membuka pintu perlahan. Aku duduk disamping tempat tidur yang menopang tubuhnya. Meissy sungguh memprihatinkan, tubuhnya kurus, pucat. Bibirnya putih dan kering. Ia terbaring lemas. Namun kepalanya bergerak, matanya yang sedari tadi mengatup dicoba untuk dibukanya. Ia menyembulkan senyum, senyumannya terlihat lelah. Tapi ia berusaha, dan ia tetap cantik. “Hai, Ra” sapanya. Aku tersenyum, kaku.
“Aku ingin minta izin,”katanya. “Untuk apa?”aku tak mengerti.
“Untuk mencintai Mars.” Aku tersentak, Meissy tak punya kewajiban untuk meminta izin dariku. “Silahkan, aku tak punya hak kepemilikan atas Mars,”jawabku sambil mencoba menyunggingkan senyum, membendung air mata yang nyaris tumpah. “Terima kasih,”katanya pelan sekali. Kami hening beberapa saat.
“Sierra, kamu bebas dalam tulisan-tulisanmu. Mars pernah cerita, ia ditunjukkan oleh Regizzo tentang puisi-puisimu. Aku pernah baca satu, judulnya ‘Syair Cemburu’. Untuk Mars bukan?”Meissy berkata pelan. Aku tak menjawab. Aku masih mencerna kata-katanya. Regizzo yang menunjukkan puisi-puisiku? Bukan Mars yang pertama kali membacanya.
“Aku hidup sebatang kara, Sierra. Orang tuaku sudah tiada semenjak aku duduk di bangku SMA. Aku menghidupi diriku sendiri, bergulat dengan kerasnya hidup ini. Menanggalkan kebebasanku sebagai manusia. Bahkan untuk makan saja aku diatur. Hanya Mars yang mengerti aku, ia tahu aku suka melukis. Ia katakan kebebasanku ada dalam lukisan-lukisanku. Kebebasan ada disini, Sierra,” Meissy menunjuk kepala dan dadanya.
“Ketidakterbatasan pikiran dan hati yang mengerti kebebasanmu. Jangan salahkan orang tuamu atau menyalahkan dirimu yang selalu takut. Cukup nikmati apa yang kamu miliki sebagai sebuah kebebasan,”lanjut Meissy.
“Tapi ingat Sierra, kebebasan kita dibatasi oleh kesempurnaan dan keabsolutan hukum-hukum Tuhan,” Meissy menambahkan. Meissy, gadis yang dulu kubenci karena merebut perhatian Mars kini yang mengajarkanku, tentang pengalaman pahitnya hidup kesepian sebatang kara dan berjuang memperjuangkan dirinya agar tetap bisa bernafas. Kebebasannya terbelenggu, terbelenggu aturan-aturan yang seperti dua mata pisau. Aturan ini bisa menyelamatkan hidupmu, tapi disatu sisi aturan ini mematikan kebebasanmu.
Aku selalu menganggap diriku manusia paling terkekang selama ini, ternyata masih ada yang lebih menyakitkan dari apa yang aku alami. Aku merelakan Mars untuk Meissy, bukan karena aku kasihan pada kondisi Meissy atau aku tak ingin memperjuangkan cintaku, tapi karena Mars memang jelas-jelas mencintai Meissy.
“Cepat sembuh, Meissy. Jangan kecewakan Mars dengan menjadi sakit seperti ini lagi. Kamu membuatnya kalut.” Aku mengecup kening Meissy dan keluar dari ruangan kamar yang sangat aku benci baunya. Aku dahulu benci melihat paras cantik Meissy beredar di majalah, aku benci melihatnya melenggak-lenggok anggun di catwalk. Tapi aku jauh lebih benci melihatnya tak berdaya diatas ranjang rumah sakit, dengan tubuh kurus dan pucat.
Dulu aku benci melihat Mars tersenyum pada Meissy dan mereka tertawa bersama. Tapi aku jauh lebih benci melihat Mars begitu kalut dan kecewa pada dirinya sendiri karena merasa gagal menjaga Meissy. Sekarang aku menyayangi mereka, sama seperti aku menyayangi Fria. Nikyta dan Regizzo. Hm, Regizzo? Entahlah.
Aku duduk di bangku tunggu didepan kamar tempat Meissy dirawat bersama Fria, Nikyta dan Regizzo. Mars sudah masuk kedalam, Fria dan Nikyta tertidur. Aku ingin sekali menangis, tapi tak bisa.
Regizzo berbisik pelan ke telinga kiriku. “Mau lihat bintang lebih dekat?”tanyanya. Aku mengangguk saja. Ia mengenggam tanganku, orang yang ternyata suka membaca dan mengagumi puisi-puisiku menggenggam tanganku, bahkan tak ada satupun puisi itu kubuatkan khusus untuknya.
Kami menaiki tangga rumah sakit yang seperti tak habis-habis, aku terengah-engah begitupun Regizzo. Namun ia tertawa, “anggap saja latihan naik gunung,”katanya. Aku terbahak. Kami sampai di lantai paling atas gedung rumah sakit. Atapnya langit. Indah tak terperi.
“Sierra, itu hem... Puisi-puisimu aku sering baca. Maaf.” Aku terperangah, untuk apa Regizzo meminta maaf, aku malah senang kalau ada yang mau membaca tulisan-tulisanku. Aku hanya berkata dalam hati, tak keluar satu patah katapun dari lisanku. Aku begitu sibuk memandangi langit yang bertabur bintang. Aku suka bulan, aku bisa dengan bebas memandangnya tanpa takut akan membuatku buta.
“Kenapa kamu tak pernah mengirim puisi atau cerpen-cerpenmu untuk dilombakan atau dipublikasikan di koran?”tanya Regizzo. “Aku takut ditolak.”jawabku
“Rasa takutmu sendiri yang mengekang kebebasanmu.”
“Apa maksudmu?”kataku dingin.
“Kamu menulis untuk dirimu sendiri, tulisan-tulisanmu adalah kebebasanmu. Tapi kamu menyembunyikannya, kamu menyembunyikan kebebasanmu sendiri. Mungkin cinta orangtua mu mengekangmu, tapi lewat tulisan-tulisanmu ada makna sebuah kebebasan dari seorang Sierra disitu. Lewat tulisan-tulisanmu kamu bisa saja memperjuangkan hidup orang banyak, membuka mata mereka dan menjadi berguna. Aku membebaskan diriku dengan naik gunung, Fria membebaskan dirinya untuk menjadi seorang aktivis, Nikyta membebaskan dirinya dengan menjadi seorang pengamen yang tidak kelimpahan uang, dan Mars membebaskan dirinya dengan menjadi aktor teater. Setiap orang memiliki caranya masing-masing, Sierra. Hanya saja kamu belum paham.”sosok Regizzo kini menjadi berbeda dimataku. Regizzo, seorang pejuang estetika penampilan sejati berkata seperti itu. Tetapi ini bukan guyonan. Regizzo benar. Aku selalu membandingkan kebebasanku dengan milik orang lain. Aku tak sadar, aku miliki kebebasanku sendiri. Mars juga benar dengan filosofi yang diadopsinya dari Herakleitos, ini adalah proses menjadi. Kebebasanku adalah prosesku untuk menjadi dewasa dan paham tentang maknanya.
Kebebasan memiliki unsur kebenaran dan ketepatan didalamnya. Kebebasan memiliki definisi yang berbeda bagi setiap makhluk hidup, bahkan binatang sekalipun. Tapi seperti kata Meissy, kebebasan dibatasi oleh kesempurnaan dan keabsolutan hukum Tuhan. Ya, mereka benar.
“Sierra, maukah kamu menuliskan puisi untukku?”aku tak punya jawaban.
Aku mencubit perutnya yang gembul, Regizzo merintih. Ia mencubit pipiku. Aku berteriak dan tertawa-tawa. Malam itu, prosesku menjadi dewasa dimulai. Kebebasanku akan kujalani beriringan dengan kebebasan Regizzo. Kami akan berusaha untuk saling melengkapi.
“Aku mencintaimu,” Regizzo menatap ke dalam mataku.
“Kamu memiliki kebebasan untuk mencintaiku sebesar dan selama yang kamu mau. Akupun begitu,”aku menatap mata Regizzo yang bulat, ada ketulusan dan kehangatan disana. Aku akan belajar mencintainya. Kini aku akan mencintainya seperti dahulu aku mencintai Mars. Mereka seperti tukar posisi di hatiku.
"Kenapa begitu?".
"Karena Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia karena ia membebaskan, dan tak ada kekuatan baik alam atau usaha manusia yang dapat membelokkan arah cinta", ucapku.
"Indah, kamu seperti bukan lagi perangkai tapi pelukis kata." Regizzo menyimpulkan senyum.
"Bukan. Itu Kahlil Gibran yang bilang. Bukan aku." Aku tertawa.
“Aku berjanji, akan membuatmu merasakan udara gunung yang dingin menusuk tulang. Kamu akan memintaku untuk tidak melepaskan pelukanku,” Regizzo berucap sambil terkekeh. Aku mencubitnya lagi dan ia berlari. Aku mengejarnya. Dengan bebas, lebih dekat melihat bintang. Di tempat yang tinggi.
Benar kata Gibran, Cinta adalah api yang melalap hati manusia.
Angin mulai berdesir, merenggut kehangatan mentari. Aku bimbang, mencoba tegak dalam pendirian dan harapan. Aku selalu bertanya pada pikiran, “apa itu kebebasan?”. Sesungguhnya tak pernah aku dapatkan definisi yang mutlak. Semuanya konservatif dan tentatif. Aku ragu, akan hidupku sendiri. Aku benci pada pikiranku yang tak tentu. Senja sudah di pelupuk mata, langit sudah jingga, kalau Seno Gumira Aji bilang senja keemasan. Namun tetap saja kebimbangan dan kegalauanku belum selesai. Fria pernah katakan padaku bahwa niscaya nya manusia itu tak pernah bebas, bahkan dari pikirannya sendiri. Tapi aku pernah merasa begitu nyaman dengan pikiranku, imaji-imaji yang aku buat-buat sendiri membawaku kedalam dunia-dunia ketika para mahasiswa dan pemerintah berjabat tangan dengan eratnya, tak ada lagi tangis-tangis kelaparan bocah-bocah di jalanan. Tak ada lagi kepalan-kepalan tangan para demonstran di depan gedung DPR. Dimana stasiun UI penuh berjejalan dengan mahasiswa yang menenteng buku-buku tebal intelek, tapi masih semangat untuk menawar buku-buku bekas yang harganya relatif murah di belakang rel. Bukan, bukan buku-buku semacam kedokteran, fisika, hukum atau semacamnya yang kumaksud . Tapi buku-buku yang didalamnya berisi kecantikan uraian kata-kata, makna-makna susastra yang membawamu pada kebebasan hakiki untuk berimajinasi. Nyatanya, mall masih lebih ramai dengan diskonan sepatu dan kaus bermerek asing yang walaupun sudah diberi potongan harga, masih cukup untuk memberi makan 1 keluarga miskin selama seminggu.
Namun Nikyta, ya kawanku yang berambut nyaris gimbal dan bergaya natural hipster itu bilang, “Ra, bebas itu seperti ini. Ketika kamu tidak punya tanggungjawab untuk mencuci rambutmu atau mengganti celana jeansmu”, aku enggan menjawab. Setiap orang memiliki definisi atas kebebasannya masing-masing. Tapi aku, masih disini berjalan gontai memandang sepatu keds ku yang harganya lumayan mencekik leher ibuku, yang aku beli 5 tahun lalu dan sekarang sudah penuh gompal-gompal tambalan. Tapi aku selalu suka melihatnya, kebiasaan ini membuatku lebih aman untuk bergalau ria. Berperang batin. Walau terkadang kebiasaan ini membawa petaka padaku, aku pernah menabrak gagang dorongan sebuah gerobak bakso yang sedang mangkal di pinggir jalan. Ulu hatiku begitu sakit. Regizzo dengan perut gembulnya terbahak-bahak tapi menurutku tawanya sangat garing. Namun, ada sebuah pelajaran yang kudapat maksudku ku analisis sendiri. Ternyata tak bagus juga selalu memandang kebawah, kau akan sering lupa bahwa ada aral didepan matamu.
Entah aku naif atau apa, tapi aku coba untuk jalan dengan menengadah keatas, memandang langit yang lebam. Alih-alih aku malah tersandung sebuah lubang galian, badanku terperosok ke aspal. Kali ini tak hanya Regizzo yang tertawa terbahak-bahak, tapi juga Fria, Nikyta dan Mars . Mulut mereka sampai terkatup-katup tertawa sambil bernafas. Tak baik juga berjalan selalu melihat keatas, kau akan sering lupa bahwa ada sesuatu dibawahmu yang perlu diperhatikan, lututmu akan sering korengan dan tanganmu akan sering lecet.
Ternyata bukan seperti ini kebebasanku, aku tak bisa berjalan sambil terus melihat ketas atau kebawah. Aku memiliki kewajiban untuk melihat kedepan lalu sesekali melihat keatas dan kebawah.
Namun, hari ini beda. Tak ada Fria, Nikyta , Regizzo dan Mars bersamaku. Kebiasaanku berpikir sambil memandang keds-ku berjalan lagi secara masif. Bahkan aku tak hiraukan jika aku harus tertabrak apapun, akan kunikmati sakit itu sebagai sebuah kebebasan. Ya, bebas menikmati. Menikmati apapun yang kualami, menikmati apapun yang kudapat hari ini. Sekalipun itu adalah sebuah sakit.
Mars
Mars. Ya, aku merasa paling nyaman berbincang dengan sahabatku yang satu ini. Biar kujelaskan lebih rinci. Mars adalah mahasiswa Ilmu Filsafat, ia satu kampus dan fakultas denganku. Perawakannya tinggi, tegap dengan kumis tipis dan garis rahang yang tegas. Ada tato di lengan kirinya, entah apa maknanya, setiap kutanyakan ia hanya tersenyum pasif. “Mars, kapan kamu berangkat ke Yunani?”, aku berujar mengagetkan Mars. Mars menyeruput Black Magicnya.
“Mungkin libur UAS, Ra”, ia menjawab sekenanya. Aku mengerutkan kening, Mars tersenyum manis sekali, “aku sudah beli tiket”. “Jadi kapan? Tanggal berapa?”,aku memastikan.
“Sekarang masih rahasia, nanti kuberi tahu kalau sudah dekat waktunya. Libur UAS masih lama kok, Ra”,aku merengut manja, Mars mengacak-acak rambutku lalu menyeruput kembali Black Magic-nya. Aku heran dengan Mars, ia begitu mencintai dunia Filsafat dan Teater. Banyak filosofi-filosofi para filsuf yang ia ajarkan padaku, tak hanya ia katakan tapi ia jelaskan.
Waktu itu kami berlima sedang ribut dan bertentangan pendapat tentang perbedaan antara benar dan tepat. Regizzo bilang benar itu mutlak, kalau tepat itu tergantung situasi dan kondisi. Lalu, Mars menengahi debat kusir kami, “pernah dengar Herakleitos?”, kami semua menggeleng. “Dia filsuf dari Efesus, seangkatanlah sama Phytagoras.” Kami semua tau Mars akan bicara tidak jauh-jauh dari filsafat. Semua dianalogikannya dengan pemikiran logika filsafat. Kadang aku setuju, kadang aku defensif dengan pemikiranku sendiri.
“Perang adalah bapak segala sesuatu”, Mars mulai berfilosofi. Kami terperangah, kami masih belum menangkap apa maksud Mars. “Kalian pasti pernah dengar pepatah-pepatah yang bilang, ‘kalau tidak pernah gagal,kita tidak akan tau rasanya menang’ kan?”, tentu saja kami tau walaupun tak ada kepastian siapa yang mengucapkannya pertama kali, kami mengangguk. “Begitulah kira-kita maksud Herakleitos dalam filosofinya. Masih relevan kan dengan kehidupan kita sekarang. Setiap pertentangan mengajarkan kita keadilan, kita akan menghargai kaya jika pernah miskin, kita akan menyia-nyiakan kehidupan jika tidak ada keabsolutan kematian. Dan kita tidak akan pernah tau apa itu benar jika tidak pernah salah. Ia juga pernah mengatakan bahwa tidak ada kepastian dalam hidup ini, yang ada ialah proses menjadi”, aku menatap dalam-dalam mata Mars. Ada binar keyakinan dimatanya, disetiap uraian kata-katanya. Aku terjebak dalam jeda panjang tanpa ruang. Entah apa yang sedang kupikirkan dan kurasakan. Aku ingin merasuki jiwa Mars, merasakan setiap denyut dari nadinya. Mengikuti alur pikirnya, merasakan kecintaannya pada filsafat. Ia seperti bebas. Ya bebas sekali.
“Ra..Sierra...Sierra. Hei...”, teguran Mars dan tatapan sahabat-sahabatku membuyarkan lamunanku. “Ehem, ya... Jadi? Apa maksudmu?,” aku bertanya seperti itu untuk menghapus salah tingkahku. Fria berbisik ditelinga kananku, “aku tau dadamu berdegup kencang saat menatap Mars.” Nikyta cekikikan kecil, sungguh menyebalkan.
“Ya, jadi maksudku semuanya hanyalah proses. Pertentangan-pertentangan pun sebuah proses, proses menjadi adil. Proses untuk menjadi benar, proses untuk menjadi tepat. Tak usahlah kalian bahas pengertiannya secara etimologi. Analisis saja menggunakan logika kalian. Dan nikmati proses itu,”. Mars berceloteh panjang tentang hasil-hasil pemikirannya. Aku masih rancu, tak bisa aku telan mentah-mentah yang Mars katakan. Aku harus memikirkannya lagi sebelum mengambil kesimpulan benar atau salahnya. Tapi ia bilang semuanya proses, hm aku tambah runyam dengan pikiranku. Anggap saja inilah proses, proses berpikir untuk menjadi seorang manusia seutuh-utuhnya. The Thinker maksudku.
“Ra...Sierra...Sierra. Hei...”, Mars membuyarkan lamunanku. Seperti de javu. “Ah, ya Mars,”aku tergagap menjawabnya.
“Pergi yuk, aku sudah bosan disini. Setiap jalan berdua kita kesini melulu,”kata Mars, ah entah kenapa kalimat ‘setiap jalan berdua’ membuat darahku berdesir. Apa yang telah menghampiriku, aku tak tau. Pipiku seperti memanas saat Mars menggandeng tanganku keluar dari gerai Es Pocong. Padahal sesungguhnya ini bukan sesuatu yang hanya ia lakukan padaku, ia juga melakukannya pada Fria dan Nikyta bahkan pada Regizzo sekalipun dan pada Meissy.
Ya Meissy, sedikit banyak aku benci padanya. Ia adalah seorang model, gadis yang cantik, gaul dan ambisius. Sudah ratusan kali ia melenggak-lenggok anggun di atas catwalk dan menjadi buruan para wartawan. Beruntungnya ia memiliki fisik yang menjadi impian para gadis pada umumnya. Namun, bukan itu yang membuatku benci padanya. Aku benci padanya karena ia pandai menggambar setidaknya gambarnya jauh lebih bagus daripada gambarku dan Mars pernah memujinya. Aku cemburu. Entahlah.
Aku tak mengerti kenapa Mars selalu menebar benih cinta pada hati setiap gadis, pernah beberapa kali aku memergoki Meissy menggambar sketsa wajah Mars. Dan puncaknya aku melihat mereka berdua makan mie yamin di depan kampus. Aku terperanjat, seorang Meissy, model dengan gengsi tinggi mau makan di kaki lima pinggir jalan, dan parahnya ia memberikan kanvas hasil lukisan sketsa wajah Mars dan Mars tersenyum, senyumnya penuh makna. Aku iri pada Meissy yang bisa dengan bebas mengekspresikan perasaannya pada Mars. Sementara aku, sibuk sendiri dengan ketakutan yang membelenggu kebebasanku. Sibuk menuliskan perasaan-perasaan yang tak dapat kuutarakan. Sibuk dengan pikiranku sendiri bahwa aku terkekang. Sibuk mengira-ngira apakah Mars mencintai Meissy.
Malam itu
Mars mengajakku untuk ikut latihan teater dengannya. Aku menggeleng, menarik tanganku dari genggamannya. Aku kapok ia ajak, waktu itu aku pernah disuruh ikut audisi untuk pementasan teaternya. Sungguh berakting bukan bidangku. Aku tak katakan bahwa aku tak bisa akting, tapi bakat aktingku untuk tampil dimuka umum belum terasah. Aku hanya biasa akting didepan ibu, ketika disuruh beli kamus bahasa inggris yang beratnya kira-kira 2 kilo dan harganya nyaris setengah juta. Aku malah beli kamus bajakan yang harganya hanya sepertiga dari harga aslinya. Sisanya aku belikan buku-buku kumpulan puisi atau cerpen dan novel. Tapi kalau akting dimuka umum, urat maluku seperti menegang nyaris putus. Air mataku mengalir deras, tapi yang aneh orang-orang itu malah bertepuk tangan. Mars menghampiriku, membawa kepalaku ke dadanya dan mengajakku keluar.
Tapi kali ini ia berjanji tidak akan menyuruhku berakting lagi, aku menyanggupi. Kami berjalan beriringan ke kampus. Di perjalanan, aku masih berpikir tentang Mars. Aku melihat ia sungguh bergitu ringan, seolah semua hidupnya tak miliki beban, bagai ia punya sayap untuk terbang. Ia dapat dengan bebas berbicara tentang pikiran-pikirannya, ia dapat dengan bebas berlakon menjadi apapun diatas panggung, ia pun seperti merasa bebas dengan pikiran-pikirannya sendiri.
Sesampainya di kampus, Mars meminta izin untuk mengganti kemejanya dengan kaus oblong. Setelah aku iyakan, ia berlalu ke kamar ganti. “Sierra....”, ada suara yang sangat kukenal. Benar saja Nikyta dan Fria, mereka melambai-lambaikan tangannya.
“Sedang apa kalian?,”aku memandang heran, mereka berdua malam-malam seperti ini mengenakan jaket almamater. “Kita habis demo didepan rektorat,”jawab Fria sehabis menenggak botol air mineralnya. “Untuk apa?,”tanyaku bingung.
“Ra, kamu tau kan masalah yang lagi terjadi berkaitan dengan rektor di kampus kita?,”aku mengangguk saja. “Ya karena itu kita demo, menuntut keadilan dan perbaikan,”jawab Nikyta. “Kamu kok tidak ikut demo tadi? Lumayan banyak yang demo, bahkan anak-anak seperti Nikyta ini juga ikut demo, tentunya tetap dengan celana jeans belel dan kaus lengan buntung yang dilapis jaket almamater,”jelas Fria sambil tertawa renyah dan mengaduh saat disikut Nikyta.
Aku tersenyum kecut dan menjawab seadanya, “ibuku tak pernah lupa berpesan supaya aku tidak ikut demo. Dia takut aku mati ketika memperjuangkan kebeneran dan keadilan, ayahku juga tak pernah lupa berpesan walaupun kita jarang sekali bertemu bahwa aku harus lulus 3,5 tahun, Cumlaude, pintar berbahasa inggris dan bekerja di perusahaan asing dengan gaji yang besar. Ia takut aku miskin. Aku tak memiliki kebebasan untuk menyuarakan apa inginku. Aku tak miliki kebebasan untuk merasakan dinginnya udara gunung seperti Regizzo, aku tak miliki kebebasan untuk berlakon di panggung seperti Mars, aku tak miliki kebebasan untuk menjadi aktivis seperti kamu Fria dan aku tidak miliki kebebasan untuk mengenakan apa yang buatku nyaman dan pergi kemanapun sepertimu Nikyta. Aku tak memiliki kebebasan seperti kalian kebanyakan,” aku menghela nafas panjang dan berlalu meninggalkan Fria dan Nikyta yang masih terpaku mendengar penuturanku.
Aku berjalan menaiki tangga, seperti biasa sambil memandang keds-ku. Betapa indahnya kebebasan, pikirku. Disaat, aku ingin sekali meneriakkan keadilan aku terkekang dengan pesan ibuku. Disaat aku ingin sekali menjadi pejuang yang rela berkorban aku dibayang-bayangi pesan ayahku. Aku terdoktrin, nanti aku harus kaya. Tak perduli ada yang kelaparan di pinggir rel, atau ada yang harus menjual badannya hanya untuk sekadar makan. Ada yang harus kehilangan harga diri demi biaya pendidikan anaknya yang diharapkan bisa memutus rantai kemiskinan. Bukankah tak ada yang lebih mengerikan ketimbang kehilangan nurani?
“Hayo, kamu lagi mikirin apa?,” Mars mengagetkanku. “Bukan apa-apa, kamu tak akan pernah mengerti. Karena kamu memilikinya,”aku berjalan mendahului Mars.
“Maksudmu apa?,” Mars terlihat penasaran. Aku membisu, tak kukatakan sepatah katapun. Mars menarik lenganku. “Aku sering melihatmu begitu ingin menangis, aku selalu menunggunya,”.
“Menunggu apa? Menunggu aku menangis? Kamu sinting ya, Mars?,”nadaku datar. “Kamu tau, kaca setebal apapun bisa pecah, karang sekuat apapun bisa kalah dengan ombak,”aku mengerti apa maksudnya, tapi aku diam saja. Beberapa teman teater Mars memandangi kami yang berdiri persis didepan pintu ruang latihan.
Mars merasa tak nyaman, apalagi aku. Ia menarikku kebawah. Hari sudah malam, dewinya pun sudah berbincang dengan bintang. Kampus sudah mulai sepi, Mars membawaku ke sebuah bangku di bawah sebuah pohon yang selalu menitikkan air.
“Kamu terlalu rapuh untuk selalu diam, Sierra,“ Mars memecah keheningan.
“Aku tidak pendiam, kamu tau tertawaku yang paling kencang diantara kita berlima.”
“Tapi tertawamu juga yang paling pedih yang pernah kudengar diantara kita berlima.”
Aku defensif. Aku tak ingin Mars membuat air mataku tumpah. Selama ini aku selalu berhasil menyembunyikan tangisku didepan Fria, Nikyta, Regizzo bahkan Mars.
“Tulisan-tulisanmu...hem aku suka,” Mars tiba-tiba saja menyinggung tulisan-tulisanku. Aku hanya mempublikasikan tulisan-tulisanku dikertas-kertas tugas dan di blog. Itupun tak pernah ada komentar, tak ada yang tertarik membaca blog-ku. Isinya puisi tentang perjuangan, cinta dan kebebasan. Juga beberapa cerpen yang aku buat zaman SMA.
“Batinku sedang berperang...
Berkecamuk segala perasaan,
Mencambuki tiang-tiang pendirian
Mengguratkan luka-luka pada dinding-dinding perasaan.
Belenggu, menjadi racun segala akar pemikiran
Benang yang mengekang pun dapat melukai
Membuat pedih, perih...
Aku ingin te****ang, te****ang dari semua kemunafikan tanpa nurani
Aku ingin te****ang dari semua kekangan
Aku ingin kehidupan berlandaskan cita-cita kebebasan...”
Itu puisi yang aku buat, itu puisi yang aku post di blog sekitar 5 bulan yang lalu. Mars hafal? Mars hafal diluar kepala? Apa ia hanya ingin mengejekku atau bagaimana? Ini bulan November kan? Ini bukan tanggal 1 April kan? Bukan lelucon kan? Mars!
“Kamu bahkan masih diam,” Mars berujar meminta penjelasan. “Aku tak tahu, Mars “ aku mulai menitikkan air mata, “ibu dan ayahku tak mengerti, aku ingin menjadi penulis bukan bekerja di perusahaan asing dan menjadi budak para kapitalis. Aku ingin berguna, bagi bangsa ini agar menjadi lebih baik. Tapi...tapi...”, aku sesenggukan, dadaku naik turun.
Mars menyandarkanku ke bahunya, ia tak mengeluarkan suara apapun. Hanya desah nafasnya yang kudengar. Berkecamuk segala macam perasaan dan pertanyaan di hatiku, apakah ia juga melakukan ini pada Meissy? Ah, entahlah. Yang jelas detik ini Mars bersamaku, menemaniku menangis. Kausnya basah terkena rembesan air mataku. Meissy tak mungkin menangis, hidupnya sudah demikian sempurna.
Pasar Senen
Aku memiliki janji dengan Regizzo diujung gang tempat kost-ku. Ia janji akan menjemputku pukul 1 siang. Tapi jam sudah menunjukkan pukul 1 lewat 10 dan belum ada kabar darinya. Kami berencana pergi ke Pasar Senen. Regizzo hendak membeli sepatu basket bekas, beberapa sweater, kaus dan celana jeans bekas. Aku berencana membeli beberapa buku bekas saja.
“Maaf, Ra” Regizzo tertawa menunjukkan deretan giginya yang putih. Hari ini ia membawa motor bebek yang sudah dimodif kesayangannya. Tadinya aku menyuruhnya untuk bawa mobil saja, tapi berhubung Fria harus rapat mengkaji tata kelola kampus yang sedang bermasalah bersama Badan Eksekutif Mahasiswa, Nikyta yang sudah memiliki rencana untuk mengamen dengan komunitas natural hipsternya dan Mars harus menjadi pembawa acara sebuah seminar di kampus jadi akhirnya diputuskan agar Regizzo membawa motor saja.
Panas matahari sangat menyengat kulit, seakan-akan ada setrikaan panas yang ditempelkan ke betis kaki dan tanganku. Regizzo tiba-tiba membawa motornya ke tepi jalan, ia membuka jaket dan melemparkannya padaku. Ia tak bicara sepatah katapun, ia langsung mengendarai lagi motornya menuju tempat tujuan. Aku sempat tersentak kaget, lalu kukenakan saja jaket pinjaman Regizzo. Kebesaran.
“Zo, kenapa harus beli sweaternya di Pasar Senen?,”tanyaku. “Supaya tetap kelihatan ganteng dengan sweater bermerek ya mau tidak mau disana tempatnya, Ra,”jawab Regizzo.
“Di mall kan banyak.”
“Mahal, Sierra. Kalau kamu bisa dapat barang bagus dengan harga murah, kenapa tidak? Lagipula belanja di Pasar Senen itu ada seninya. Kamu bisa lihat banyak jenis manusia disana. Ada yang miskin sampai yang kaya. Ada yang keren sampai yang aneh. Yang pasti semua orang yang mau belanja disana itu adalah pejuang-pejuang estetika penampilan,” Regizzo menjelaskan lalu tertawa. Aku ikutan tertawa, “bodoh kamu.”
“Kapan naik gunung lagi, Zo?”
“Rencananya Desember, Ra. Mudah-mudahan bisa sampai di puncak tepat tanggal 1 Januari, sekalian merayakan tahun baru disana.”aku diam, hanya ada suara klakson-klakson berperang antara angkot dan mobil pribadi. “Mau ikut, Ra?”sambung Regizzo.
“Pertanyaan bodoh,”jawabku ketus.
“Ya pertanyaan bodoh yang selalu aku tanyakan, dan kalau tidak salah 19 kali kamu jawab dengan inti yang sama ‘aku mau ikut, tapi mamaku tak mengizinkan’, ‘disana apa bisa mati?mamaku takut aku mati’, ‘kamu tolong izinkan ke orang tuaku, aku takut’, ‘ya nanti, setelah orang tuaku pergi meninggalkanku selamanya’, ‘orang tuaku masih hidup, Zo aku belum bisa naik gunung’, dan alasan-alasan lain yang pokoknya kamu tidak diizinkan naik gunung,”tukas Regizzo. Aku tersenyum masam. Regizzo masih ingat jawaban-jawabanku, memang terdengar agak sarkastik. Tapi bukan berarti aku tak mencintai orang tuaku.
Aku mencintai mereka, sangat. Terlebih ibuku. Tapi terkadang aku tak nyaman dengan cara mereka mencintaiku, cinta mereka yang bagai benang pengekang yang mengguratkan luka-luka di batinku. Aku hanya ingin menikmati hidup, merasakan alam. Regizzo pernah suatu waktu mengatakan, “di gunung itu kita tidak butuh uang, Ra tapi keberanian. Alam mendidik kita menjadi lebih tangguh, dan kita akan merasa bebas. Bebas dari apapun, bebas dari kemunafikan orang-orang di bawah sana yang bersesakkan mencari lembar-lembar rupiah. Di gunung kita tetap diberi makan oleh Tuhan, caranya saja yang berbeda.”
Demi Tuhan aku ingin mencoba, aku ingin merasakannya. Paling tidak sahabat-sahabatku yang lain, Fria, Nikyta dan Mars pernah naik gunung. Fria sekali, Nikyta dan Mars dua kali. Mereka membawa pulang cerita-cerita dan pelajaran yang mereka dapat diatas sana. Walau tak jarang, luka dan memar menghiasi tubuh mereka. Tapi mereka bilang, “luka ini tidak seberapa dibanding hal-hal yang kita dapat dari perjuangan kita mendaki gunung,”waktu itu pendakian mereka yang pertama kali ke Gunung Rinjani, tahun lalu sampai di puncak tepat pada tanggal 17 Agustus. Nikyta pernah berkata, “naik gunung tidak kalah seru dengan mengamen di perumahan elit. Butuh perjuangan, di perumahan elit aku diajari untuk berlari kencang karena sering dikejar anjing. Di gunung aku dididik untuk berjalan jauh.” Kami semua tertawa mendengar penuturan Nikyta.
“Ra,” Regizzo mencoba menyambung lagi perbincangan kami.
“Ya?”jawaku singkat.
“Percaya sama aku, nanti kamu bisa kok naik gunung,”ucap Regizzo. Aku hanya tertawa dan mengiyakan perkataannya. Namun ini bukan sekadar naik gunung, bukan cuma naik gunung inginku. Aku ingin miliki kebebasan merancang hidupku. Menikmatinya. Menyesap udara pagi dan menyadari bahwa yang akan kulakukan hari ini adalah karena aku hidup, bukan karena permintaan orang lain bahkan orang tuaku sendiri.
Akhirnya kami sampai juga di Pasar Senen, orang-orang berjejalan di sela-sela jalan. Menenteng tas-tas besar berisi berlanjaan. Mengipas-ngipaskan tubuhnya sambil berdagang air minum. Sungguh bernegasi dengan mall-mall sekelas Senayan City atau Pondok Indah, bahkan mall-mall lainnya. Kami masuk ke sebuah gerai buku bekas, aku mulai mencari-cari buku. Aku mengambil satu buku karya Pramoedya Ananta Toer, judulnya Bumi Manusia. Entah bagaimana isinya tapi ini menarik perhatianku. Buku ini sudah lama aku perhatikan setiap aku melewati gerai toko buku bekas di belakang rel stasiun UI. Aku menanyakan berapa harga buku itu dan langsung membayarnya tanpa menawar, lalu kami berlalu menuju gerai toko baju bekas. “Kok kamu tidak menawar, Ra?”. Regizzo kelihatan heran.
“Harganya patut kok, Zo. Tidak perlu ditawar.”jawabku sambil memasukkan buku itu ke tasku. “Harusnya tetap menawar, Ra. Bukan kesepakatan harga yang menjadi masalahnya. Tapi dengan kamu menawar akan ada komunikasi diantara penjual dan pembeli. Tidak peduli berapa harga yang akan kalian sepakati, tapi dalam aktivitas tawar-menawar ada yang kamu dapat. Mereka akan sangat senang sekali jika pembeli mau mengobrol sesaat saja dengan orang kecil seperti mereka.”jelas Regizzo. Aku mengangguk-angguk. Tak pernah terpikir sekalipun olehku, naif sekali aku. Mengira mereka hanya menginginkan uangku.
Kami pulang sekitar pukul 4 sore. Regizzo menenteng belajaannya yang seabrek. Aku sempat tertawa terbahak-bahak saat ia menawar sweater merek polo yang memang keren sekali. Akhirnya ia mendapatkan sweater itu dengan harga yang turun 10.000 dari harga sebenarnya. Tapi ia ngotot sekali menawarnya, si abang penjualnya pun sampai kehabisan kata-kata. Regizzo juga membelikanku selembar sweater, warnanya biru laut. Agak kelonggaran, tapi aku suka. Warnanya agak sudah sedikit kumal, tak seperti baru lagi. Tapi tetap keren. Ia memberi tips, sebelum dipakai, baju-baju ini harus direndam dulu dengan air panas agar kuman-kumannya mati, baru dicuci dengan sabun cuci seperti biasa dan jangan lupa direndam dengan pewangi pakaian. Regizzo memang pejuang estetika penampilan sejati.
Senja Oranye
Aku, Mars, Fria, Nikyta, Regizzo dan Meissy sedang duduk bersila di pinggir jalan depan kampus. Sibuk dengan mie yamin masing-masing, hanya Nikyta dan Regizzo yang ramai saling berebut pangsit. Entah apa yang membuat Mars mengajak Meissy, apa sebenarnya hubungan mereka aku tak mengerti. Mie yamin ku yang super pedas sudah ludes, tergilas oleh kunyahan-kunyahanku yang penuh rasa kesal dan sesal. Kenapa tadi aku tidak pulang saja ke kosan dan menolak ajakan Mars?
Setelah makan, Meissy langsung menenggak air mineralnya dan pamit ke kamar mandi. Mars memandangi punggung Meissy yang bertolak ke kamar mandi. 10 menit Meissy belum kembali, kami tak menyadarinya hanya Mars yang bangkit dari tempatnya dan berjalan menuju kamar mandi.
Satu jam berlalu dan Mars maupun Meissy tak kembali. Apa yang mereka lakukan, pikiranku berkecamuk. Apa mereka sedang asik berduaan di kamar mandi, lalu apa yang mereka lakukan? Sialan. Hatiku tak tenang. Aku bangkit dari tempatku. “Kamu mau kemana, Ra?”, Nikyta berteriak. Regizzo juga bangkit dari tempatnya dan membayar mie yamin pesanan kami. Tergopoh-gopoh langkah mereka mengejarku.
Aku tendang pintu kamar mandi. Kosong. Tak ada siapapun. Apa? Kenapa? Mungkinkah ini rencana mereka? Meninggalkan kami semua? Mars tak mungkin seperti itu. Ya Tuhan mengapa aku berpikiran jahat tentang Mars?
Regizzo, Fria dan Nikyta tak mengucapkan apa-apa. Mereka hanya mengikuti langkahku. Aku duduk di bangku, tempat pertama kalinya aku menangis didepan Mars. Senja menyemburatkan sinarnya yang oranye, mentari sebentar lagi ditelan langit malam. “Sierra, aku tau perasaan cemburu itu sungguh tidak enak.” Tiba-tiba saja Fria nyeletuk. Regizzo memutar bola matanya, lalu memandangku penuh tanya.
“Beruntung sekali Meissy, Mars baik sekali,”aku berbicara dengan tatapan kosong ke langit yang oranye. “Meissy dan Mars cocok bersanding. Mereka sama-sama manusia bebas dan nyaris sempurna.”
Terdengar bunyi dering ponsel Regizzo. “Ya, halo..Oke, Mars.”
Mars kah yang menelepon? Aku memandang Regizzo penuh tanya dan harap. “Ayo, ikut aku,”Regizzo tak menjawab apapun.
Kebebasan kami
Kami sampai di sebuah rumah sakit di bilangan Depok. Aku tak henti-hentinya bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang terjadi. Aku tak pernah suka bau rumah sakit. Aku hampir enggan masuk, kalau bukan karena Mars. Kami naik lift ke lantai 3, Mars sedang duduk menunduk di sebuah bangku depan kamar rumah sakit. Kami segera menghampirinya, “Meissy kenapa?”, Regizzo langsung menyela. Apa? Meissy kenapa? Aku membisu.
“Ada yang tak pernah aku ceritakan pada kalian. Sekarang sepertinya sudah saatnya.”tutur Mars. “Meissy menderita bulimia nervosa, kalian tau penyakit ini sering dialami oleh model seperti Meissy. Ia makan sebanyak-banyaknya lalu kembali memuntahkannya. Ini mengganggu kesehatan fisik dan psikologisnya. Aku sempat mencoba menghentikannya, tapi ternyata gagal,” Mars terlihat kecewa sekali. Aku pernah sesekali mendengar penyakit itu, biasa terjadi pada model atau wanita-wanita yang merasa bermasalah dengan berat badan. Memakan apapun sebanyak-banyaknya lalu kembali memuntahkannya. Kasihan sekali Meissy, ia tak pernah bebas menikmati makanannya. Ia tak sebebas yang ia kukira, ia harus menjaga agar tubuhnya tetap kurus. Ia terikat peraturan itu dengan manajemennya.
“Aku gagal, aku gagal menjaganya.”tak pernah kulihat Mars sekalut itu. Dapat kusimpulkan, ia mencintai Meissy. Bukan karena kenyarissempurnaan Meissy tapi karena itulah cinta. Aku berjalan gontai ke kamar tempat Meissy dirawat, aku membuka pintu perlahan. Aku duduk disamping tempat tidur yang menopang tubuhnya. Meissy sungguh memprihatinkan, tubuhnya kurus, pucat. Bibirnya putih dan kering. Ia terbaring lemas. Namun kepalanya bergerak, matanya yang sedari tadi mengatup dicoba untuk dibukanya. Ia menyembulkan senyum, senyumannya terlihat lelah. Tapi ia berusaha, dan ia tetap cantik. “Hai, Ra” sapanya. Aku tersenyum, kaku.
“Aku ingin minta izin,”katanya. “Untuk apa?”aku tak mengerti.
“Untuk mencintai Mars.” Aku tersentak, Meissy tak punya kewajiban untuk meminta izin dariku. “Silahkan, aku tak punya hak kepemilikan atas Mars,”jawabku sambil mencoba menyunggingkan senyum, membendung air mata yang nyaris tumpah. “Terima kasih,”katanya pelan sekali. Kami hening beberapa saat.
“Sierra, kamu bebas dalam tulisan-tulisanmu. Mars pernah cerita, ia ditunjukkan oleh Regizzo tentang puisi-puisimu. Aku pernah baca satu, judulnya ‘Syair Cemburu’. Untuk Mars bukan?”Meissy berkata pelan. Aku tak menjawab. Aku masih mencerna kata-katanya. Regizzo yang menunjukkan puisi-puisiku? Bukan Mars yang pertama kali membacanya.
“Aku hidup sebatang kara, Sierra. Orang tuaku sudah tiada semenjak aku duduk di bangku SMA. Aku menghidupi diriku sendiri, bergulat dengan kerasnya hidup ini. Menanggalkan kebebasanku sebagai manusia. Bahkan untuk makan saja aku diatur. Hanya Mars yang mengerti aku, ia tahu aku suka melukis. Ia katakan kebebasanku ada dalam lukisan-lukisanku. Kebebasan ada disini, Sierra,” Meissy menunjuk kepala dan dadanya.
“Ketidakterbatasan pikiran dan hati yang mengerti kebebasanmu. Jangan salahkan orang tuamu atau menyalahkan dirimu yang selalu takut. Cukup nikmati apa yang kamu miliki sebagai sebuah kebebasan,”lanjut Meissy.
“Tapi ingat Sierra, kebebasan kita dibatasi oleh kesempurnaan dan keabsolutan hukum-hukum Tuhan,” Meissy menambahkan. Meissy, gadis yang dulu kubenci karena merebut perhatian Mars kini yang mengajarkanku, tentang pengalaman pahitnya hidup kesepian sebatang kara dan berjuang memperjuangkan dirinya agar tetap bisa bernafas. Kebebasannya terbelenggu, terbelenggu aturan-aturan yang seperti dua mata pisau. Aturan ini bisa menyelamatkan hidupmu, tapi disatu sisi aturan ini mematikan kebebasanmu.
Aku selalu menganggap diriku manusia paling terkekang selama ini, ternyata masih ada yang lebih menyakitkan dari apa yang aku alami. Aku merelakan Mars untuk Meissy, bukan karena aku kasihan pada kondisi Meissy atau aku tak ingin memperjuangkan cintaku, tapi karena Mars memang jelas-jelas mencintai Meissy.
“Cepat sembuh, Meissy. Jangan kecewakan Mars dengan menjadi sakit seperti ini lagi. Kamu membuatnya kalut.” Aku mengecup kening Meissy dan keluar dari ruangan kamar yang sangat aku benci baunya. Aku dahulu benci melihat paras cantik Meissy beredar di majalah, aku benci melihatnya melenggak-lenggok anggun di catwalk. Tapi aku jauh lebih benci melihatnya tak berdaya diatas ranjang rumah sakit, dengan tubuh kurus dan pucat.
Dulu aku benci melihat Mars tersenyum pada Meissy dan mereka tertawa bersama. Tapi aku jauh lebih benci melihat Mars begitu kalut dan kecewa pada dirinya sendiri karena merasa gagal menjaga Meissy. Sekarang aku menyayangi mereka, sama seperti aku menyayangi Fria. Nikyta dan Regizzo. Hm, Regizzo? Entahlah.
Aku duduk di bangku tunggu didepan kamar tempat Meissy dirawat bersama Fria, Nikyta dan Regizzo. Mars sudah masuk kedalam, Fria dan Nikyta tertidur. Aku ingin sekali menangis, tapi tak bisa.
Regizzo berbisik pelan ke telinga kiriku. “Mau lihat bintang lebih dekat?”tanyanya. Aku mengangguk saja. Ia mengenggam tanganku, orang yang ternyata suka membaca dan mengagumi puisi-puisiku menggenggam tanganku, bahkan tak ada satupun puisi itu kubuatkan khusus untuknya.
Kami menaiki tangga rumah sakit yang seperti tak habis-habis, aku terengah-engah begitupun Regizzo. Namun ia tertawa, “anggap saja latihan naik gunung,”katanya. Aku terbahak. Kami sampai di lantai paling atas gedung rumah sakit. Atapnya langit. Indah tak terperi.
“Sierra, itu hem... Puisi-puisimu aku sering baca. Maaf.” Aku terperangah, untuk apa Regizzo meminta maaf, aku malah senang kalau ada yang mau membaca tulisan-tulisanku. Aku hanya berkata dalam hati, tak keluar satu patah katapun dari lisanku. Aku begitu sibuk memandangi langit yang bertabur bintang. Aku suka bulan, aku bisa dengan bebas memandangnya tanpa takut akan membuatku buta.
“Kenapa kamu tak pernah mengirim puisi atau cerpen-cerpenmu untuk dilombakan atau dipublikasikan di koran?”tanya Regizzo. “Aku takut ditolak.”jawabku
“Rasa takutmu sendiri yang mengekang kebebasanmu.”
“Apa maksudmu?”kataku dingin.
“Kamu menulis untuk dirimu sendiri, tulisan-tulisanmu adalah kebebasanmu. Tapi kamu menyembunyikannya, kamu menyembunyikan kebebasanmu sendiri. Mungkin cinta orangtua mu mengekangmu, tapi lewat tulisan-tulisanmu ada makna sebuah kebebasan dari seorang Sierra disitu. Lewat tulisan-tulisanmu kamu bisa saja memperjuangkan hidup orang banyak, membuka mata mereka dan menjadi berguna. Aku membebaskan diriku dengan naik gunung, Fria membebaskan dirinya untuk menjadi seorang aktivis, Nikyta membebaskan dirinya dengan menjadi seorang pengamen yang tidak kelimpahan uang, dan Mars membebaskan dirinya dengan menjadi aktor teater. Setiap orang memiliki caranya masing-masing, Sierra. Hanya saja kamu belum paham.”sosok Regizzo kini menjadi berbeda dimataku. Regizzo, seorang pejuang estetika penampilan sejati berkata seperti itu. Tetapi ini bukan guyonan. Regizzo benar. Aku selalu membandingkan kebebasanku dengan milik orang lain. Aku tak sadar, aku miliki kebebasanku sendiri. Mars juga benar dengan filosofi yang diadopsinya dari Herakleitos, ini adalah proses menjadi. Kebebasanku adalah prosesku untuk menjadi dewasa dan paham tentang maknanya.
Kebebasan memiliki unsur kebenaran dan ketepatan didalamnya. Kebebasan memiliki definisi yang berbeda bagi setiap makhluk hidup, bahkan binatang sekalipun. Tapi seperti kata Meissy, kebebasan dibatasi oleh kesempurnaan dan keabsolutan hukum Tuhan. Ya, mereka benar.
“Sierra, maukah kamu menuliskan puisi untukku?”aku tak punya jawaban.
Aku mencubit perutnya yang gembul, Regizzo merintih. Ia mencubit pipiku. Aku berteriak dan tertawa-tawa. Malam itu, prosesku menjadi dewasa dimulai. Kebebasanku akan kujalani beriringan dengan kebebasan Regizzo. Kami akan berusaha untuk saling melengkapi.
“Aku mencintaimu,” Regizzo menatap ke dalam mataku.
“Kamu memiliki kebebasan untuk mencintaiku sebesar dan selama yang kamu mau. Akupun begitu,”aku menatap mata Regizzo yang bulat, ada ketulusan dan kehangatan disana. Aku akan belajar mencintainya. Kini aku akan mencintainya seperti dahulu aku mencintai Mars. Mereka seperti tukar posisi di hatiku.
"Kenapa begitu?".
"Karena Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia karena ia membebaskan, dan tak ada kekuatan baik alam atau usaha manusia yang dapat membelokkan arah cinta", ucapku.
"Indah, kamu seperti bukan lagi perangkai tapi pelukis kata." Regizzo menyimpulkan senyum.
"Bukan. Itu Kahlil Gibran yang bilang. Bukan aku." Aku tertawa.
“Aku berjanji, akan membuatmu merasakan udara gunung yang dingin menusuk tulang. Kamu akan memintaku untuk tidak melepaskan pelukanku,” Regizzo berucap sambil terkekeh. Aku mencubitnya lagi dan ia berlari. Aku mengejarnya. Dengan bebas, lebih dekat melihat bintang. Di tempat yang tinggi.
Benar kata Gibran, Cinta adalah api yang melalap hati manusia.
0 comments:
Post a Comment