Langkah-langkah kecil yang entah milik siapa, menari-nari memenuhi ruang dengarku. Mengaburkan fokus positif yang tengah ku bangun, mengubahnya menjadi secarik kebisuan yang tak bertuan. Usahaku membangun kembali hasrat keingin-tahuanku, gagal. Karena langkah-langkah kecil itu masih dan mungkin akan terus membayangi langkahku sendiri.
Bulan hitam di luar sana menjadi saksi bisu dalam kebisuan. Seolah hanya diam menyaksikan carut-marut keterpurukan melahap sisa-sisa daging yang masih mendekap tulangku. Ranting. Daun. Pepohonan. Akar yang mengakar. Semuanya hanya diam. Akupun diam.
Di tengah diam yang kian mengelam, suara itu menyapaku, mendekap sukmaku dengan kelembutan yang beraroma satir.
“ apa yang kau inginkan.”
Ia bertanya sembari membelai helai demi helai rambutku yang tergerai.
” siapa kau ?”
Semilir angin kembali menyapa kulit ariku yang setebal satin. Malam yang hitam terasa semakin hitam.
“ aku adalah apa yang kau lakukan di masa silam.” Matanya berkilat-kilat. Mencerminkan jawabannya yang tak mengenal keragu-raguan.
“ kau masa laluku ?”
“ ya.”
Gemericik air kembali terdengar bersentuhan dengan dedaunan diiringi gelak tawa garang yang semula hanya berupa hembusan kini semakin jelas dan menjelma menjadi bentuk yang tak terjelaskan.
“ siapa kau wahai halimun tak bernama ?”
“ tentulah kau tau siapa aku, karna aku adalah apa yang akan terjadi kepadamu.”
“kau adalah masa depanku.”
“ ya.”
Laksana opera sabun yang menguras tanda tanya, kedua sosok dari masa yang berbeda itu berdiri mematung seiring membekunya tubuhku. Apalah yang diinginkan Sang Empunya Kehidupan dengan menghadirkan kedua sosok imajiner tersebut. Diamku tak menghasilkan jawaban apapun.
“ apa yang kalian inginkan?” tanyaku memecah kebekuan.
” memenggal rasa bersalahmu.” Jawab masa laluku.
“ memperbaiki fondasi hari esokmu.” Jawab masa depanku.
Jemari ini mencengkram ujung penutup tubuhku yang berumbai-rumbai. Entah apa yang harus ku katakan. Entah apa yang harus ku katakan. Semuanya begitu tiba-tiba menghantam kebisuan. Apakah semua problematika ini membawaku ke depan gerbang ketidak-warasan ?
“ duduklah! Bukankah Sang Pengendali lebih tau tentang apa yang harus dan tidak harus terjadi?” dia yang mengklaim dirinya sebagai apa yang aku lakukan di masa lalu menuntunku ke sebuah kursi kayu tua di sudut ruangan.
“ aku bingung.”
“ kamipun demikian.” Jawab mereka bersamaan. Dengan suara yang tak begitu tajam tetapi mampu mengusir seeoku burung kalibri putih dari peraduannya. Masa lalu bersimpuh di sampingku dan masa depan bersimpuh di sisi yang sebaliknya. Posisi yang aneh untuk besuah percakapan yang aneh pula.
“ berdiam diri di sebuah ruang yang sunyi, kau seolah berperan sebagai hakim yang menghukum diirimu sendiri. Tak lelahkah kau ?” masa lalu bertanya lembut kepadaku.
“ penat dan lelah ini takan mampu menebus waktu yang terenggut dariku di masa silam.”
Ia tersenyum mendengar jawabanku.
“ berhentilah menghakimi dirimu!”
Bulan hitam di luar sana menjadi saksi bisu dalam kebisuan. Seolah hanya diam menyaksikan carut-marut keterpurukan melahap sisa-sisa daging yang masih mendekap tulangku. Ranting. Daun. Pepohonan. Akar yang mengakar. Semuanya hanya diam. Akupun diam.
Di tengah diam yang kian mengelam, suara itu menyapaku, mendekap sukmaku dengan kelembutan yang beraroma satir.
“ apa yang kau inginkan.”
Ia bertanya sembari membelai helai demi helai rambutku yang tergerai.
” siapa kau ?”
Semilir angin kembali menyapa kulit ariku yang setebal satin. Malam yang hitam terasa semakin hitam.
“ aku adalah apa yang kau lakukan di masa silam.” Matanya berkilat-kilat. Mencerminkan jawabannya yang tak mengenal keragu-raguan.
“ kau masa laluku ?”
“ ya.”
Gemericik air kembali terdengar bersentuhan dengan dedaunan diiringi gelak tawa garang yang semula hanya berupa hembusan kini semakin jelas dan menjelma menjadi bentuk yang tak terjelaskan.
“ siapa kau wahai halimun tak bernama ?”
“ tentulah kau tau siapa aku, karna aku adalah apa yang akan terjadi kepadamu.”
“kau adalah masa depanku.”
“ ya.”
Laksana opera sabun yang menguras tanda tanya, kedua sosok dari masa yang berbeda itu berdiri mematung seiring membekunya tubuhku. Apalah yang diinginkan Sang Empunya Kehidupan dengan menghadirkan kedua sosok imajiner tersebut. Diamku tak menghasilkan jawaban apapun.
“ apa yang kalian inginkan?” tanyaku memecah kebekuan.
” memenggal rasa bersalahmu.” Jawab masa laluku.
“ memperbaiki fondasi hari esokmu.” Jawab masa depanku.
Jemari ini mencengkram ujung penutup tubuhku yang berumbai-rumbai. Entah apa yang harus ku katakan. Entah apa yang harus ku katakan. Semuanya begitu tiba-tiba menghantam kebisuan. Apakah semua problematika ini membawaku ke depan gerbang ketidak-warasan ?
“ duduklah! Bukankah Sang Pengendali lebih tau tentang apa yang harus dan tidak harus terjadi?” dia yang mengklaim dirinya sebagai apa yang aku lakukan di masa lalu menuntunku ke sebuah kursi kayu tua di sudut ruangan.
“ aku bingung.”
“ kamipun demikian.” Jawab mereka bersamaan. Dengan suara yang tak begitu tajam tetapi mampu mengusir seeoku burung kalibri putih dari peraduannya. Masa lalu bersimpuh di sampingku dan masa depan bersimpuh di sisi yang sebaliknya. Posisi yang aneh untuk besuah percakapan yang aneh pula.
“ berdiam diri di sebuah ruang yang sunyi, kau seolah berperan sebagai hakim yang menghukum diirimu sendiri. Tak lelahkah kau ?” masa lalu bertanya lembut kepadaku.
“ penat dan lelah ini takan mampu menebus waktu yang terenggut dariku di masa silam.”
Ia tersenyum mendengar jawabanku.
“ berhentilah menghakimi dirimu!”
“ kau hanya pion dari arena pertarungan yang lebih luas.”
Mereka masih berdialog ketika kesadaranku mulai timbul, aku adalah masa kini.
Dialog mereka adalah peta. Kenyataan yang terpetakan dalam bentuk imajiner. Membentangkan pilihan. Dua pilihan yang dengan kuasa penuh boleh ku ambil.
Mereka masih berdialog ketika kesadaranku mulai timbul, aku adalah masa kini.
Dialog mereka adalah peta. Kenyataan yang terpetakan dalam bentuk imajiner. Membentangkan pilihan. Dua pilihan yang dengan kuasa penuh boleh ku ambil.
0 comments:
Post a Comment