Contoh Naskah Monolog Karya Putu Wijaya - Monolog berasal dari kata Mono yang berarti satu atau sendiri dan Kata Logos Ilmu, jadi secara harfiah monolog adalah Ilmu terapan atau seni peran yang dilakukan oleh satu orang, Oke langsung saja kalau anda belum tahu Seperti apa Naskah Monolog, kami akan membantu anda untuk melihat Contoh Naskah Monolog, silahkan anda buka Kumpulan Naskah disitu terdapat Kumpulan Naskah Monolog yang bisa anda download dan Banyak sekali dari Mulai Naskah monolog Karya Putu Wijaya, Arifin C, Noer, Nano Riantiarno dan Masih banyak lagi, Selamat mementaskah Naskah Monolog atau untuk sekedar bahan referensi untuk tugas Sekolah. nah sekarang kami akan ambil contoh Naskah Monolog Kucing Karya Putu Wijaya.
MONOLOG “KUCING”
Karya: Putu Wijaya
(Ditulis ulang oleh Agus Noor)
I
PANGGUNG SIMPLE DAN SEDERHANA. Mengindikasikan rumah kecil, sederhana, dengan perabot-perobot sederhana pula, yang menyesuaikan kebutuhan cerita dan pemanggungan.
Panggung masih remang. Terdengar sayup-sayup anak-anak kecil yang berteriak berkejaran bermain-main sepanjang gang di kampung pinggiran kota. Suara lagu dangdut yang sedang populer, sayup-sayup terdengar dari radio transistor tetangga. Suara pedagang siomay atau bakso melinas. Bunyi mangkuk yang dipukul berkali-kali. Teriakan penjual yang makin menjauh. Deru kendaraan lewat. Tawa perempuan yang kedengarannya sedang bergunjing. Dari radio lain terdengar sayup suara ustad sedang memberi pengajian. Terdengar suara orang bertengkar. Suara makian. Teriakan. Panci atau ember dibanting. Lagu dangdut itu masih mendayu merdu. Bayangan magrib seperti merambat pada panggung. Atmosfir suara-suara perkampungan pinggiran kota seperti itu menghantar ke pertunjukan…
Muncul Tokoh Kita, aktor yang memainkan lakon monolog ini. Terlihat lelah dan loyo. Membawa tas, juga plastik kresek yang berisi buku-buku. Ia kerepotan dengan semua bawaannya itu. Ia lunglai menuju pintu rumah. Ia mencoba membuka pintu rumahnya.
Tapi terkunci.
Ia merogoh-rogoh kantung celana dan bajunya. Mencari-cari kunci. Tapi kunci itu tak ada. Mendengus kesal. Mencoba mengingat-ingat: di mana kunci rumahnya. Lalu ia mengetuk pintu…
TOKOH KITA: Jeng…. Jeng… (kembali mengetuk pintu, agak lebih keras) Jeng….
Tapi pintu tak dibuka. Ia kembali mengetuk pintu berkali-kali…
TOKOH KITA: Jeng…. Jeng… JENG…
Tampak kesal, dan hendak menggedor pindu dengan marah, tetapi kemudian menyabarkan diri. Kemudian duduk di kursi di beranda rumahnya itu, sambil meletakkan tas dan semua bawaannya.
TOKOH KITA: Pasti istri saya lagi ke rumah Ibunya… Kalau lagi ngambek, dia memang suka begitu…, ngabur ke rumah Ibunya. Purik, kata orang Jawa. Seolah-solah, kalau sudah purik begitu, jadi selesai masalahnya…
Dari radio tetangga lamat-lamat terdengar lagu pop yang cengeng dinyanyikan mendayu, “Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku…..” dst.
TOKOH KITA: Wah, kok ya pas banget lagunya… Anda jangan salah sangka, kalau istri saya kabur karena saya ringan tangan. Percayalah, saya ini tergolong suami yang baik dan pengertian. Di panggung dan di keseharian, saya ini suami yang sholeh dan tauladan. Jadi saya paling pantang melakukan kekerasan. Pantang bagi saya melakukan KDRT….Sumpah, saya nggak suka KDRT.. Kalau KD.. Kris Dayanti, sih ya suka…
Sambil melepas sepatunya.
TOKOH KITA: Maaf, kalau kalian saya ajak ngomong soal yang remeh-temeh begini. Mungkin kalian berharap saya akan ngomong soal politik atau hal-hal besar lainnya. Tapi saya bosen. Capek terus-terusan ngomongin soal politik. Dikritik tiap hari, sampai bibir saya dower pun, tetep saja nggak berubah. Tetap saja kemiskinan makin merata di mana-mana.
Memang, pemerintah bilang, sekarang ini jumlah rakyat miskin sudah berkurang. Tentu saja berkurang, karena banyak rakyat yang memilih mati bunuh diri. Banyak juga yang mati karna busung lapar. Dan belakangan ini, banyak sekali rakyat miskin yang mati karna tabung gas meledak. Pemerintah bilang ledakan tabung gas itu hanya kecelakaan. Aneh… kecelakaan kok konsisten.
Jadi secara statistik memang tidak salah kalau presiden bilang jumlah rakyat miskin dikatakan makin berkurang… Karena setiap hari memang ada orang miskin yang mati karna tabung gas meledak. Seolah-olah tabung gas itu bukan lagi program konversi minyak tanah, tapi menjadi program pengurangan jumlah penduduk miskin….
Lho, kok jadi ngrasani pemerintah kayak gini…Sudah, ah. Nggak baik terus-terusan nyindir pemerintah. Kita ngobrolin yang ringan-ringan saja. Makanya, saya memilih memainkan lakon yang menurut saya juga ringan-ringan saja. Soal kucing. Terus terang, tadinya saya juga cukup repot memilih judul. Soalnya, saya pingin judul ini tidak diasosiasikan macem-macem. Beda misalnya kalau saya ngasih judul Buaya, misalnya. Atau Cicak. Pasti kalian langsung menafsirkannnya sebagai sindiran terhadap perseteruan antara Polisi dan KPK. Atau kalau saya memainkan lakon berjudul Babi, kalian pasti langsung mengkait-kaitkan lakon ini dengan rekening gendut para perwira polisi.
Susah kan nyari judul yang dikira tidak nyindir? Coba, siapa bisa memberi tahu saya, kira-kira judul apa yang tidak berarti konotatif? Hayo, apa coba? Tikus? Tikus sudah pasti langsung mengacu pada para koruptor. Bunglon? Wah, kalau ini sudah pasti menggambarkan perilaku politikus kita yang dari dulu memang sudah konsisten mirip bunglon. Gampang berubah-rubah sesuai kepentingan politik mereka. Kerbau? Wah nanti belum-belum saya sudah dicurigai mau nyindir Presiden… Ayo, coba yang lain, apa? (berinteraksi dengan penonton) Luwak? Wah nanti kalau judul lakon ini Luwak, dikira nyindir lembaga yang hobinya ngeluarin fatwa. Luwak kok diharamkam. Kayak kurang kerjaan ajah.
Nah, menurut saya judul Kucing lumayan netral. Paling-paling ya dikaitkan dengan kucing hitam, kucing belang, kucing jejadian,atau mandi kucing… Atau paling banter ya dihubung-hubungkan dengan kucing garong…Nah, kalau ada di antara saudara-saudara yang selama ini merasa perilakunya mirip kucing garong, tolong ndak usah merasa tersindir. Sumpah. Ini hanya cerita biasa soal kucing. Kucing tetangga saya.
Terdengar suara kucing mengeong. Seperti kelaparan. Seperti merajuk.
TOKOH KITA: Huss..Huss…
Kucing itu masih mengeong…
TOKOH KITA: Saya bukan penggemar kucing, tapi saya paham sedikit bahasa kucing. Itu bukang ngeong kucing yang sedang kasmaran. Itu kucing yang sedang keroncongan. Kucing memang selalu kelaparan.
Terdengar ngeong kucing itu lagi…
TOKOH KITA: Ah, kalau itu sepertinya ngeong kucing birahi… Itu pasti kucing Miyabi…
Kucing terus mengeong genit manja, dan menjauh…
TOKOH KITA: Gara-gara kucing itu saya sering bertengkar dengan istri. Tapi bukan lantaran kucing itu istri saya purik ke rumah ibunya. Sebenarnya agak malu menceritakan ini. Hmmm, gimana ya mulainya. Soalnya agak nyerempet-nyerempet saru sih. Terus terang, mulut saya tidak terbiasa ngomongin yang saru-saru. Maklum, mulut turunan priyayi, jadi terbiasa ngomong yang halus-halus.
Eehhmm, begini. Sebenarnya ini biasa terjadi kok dalam kehidupan suami istri. Saya pinginnya tiga hari sekali. Sekali-kali bolehlah empat hari sekali. Itu kan wajar. Namanya saja kebutuhan rohani yang harus terpenuhi. Artinya saya masih suami yang normal. Mestinya istri saya senang, karna saya masih tetep kenceng setiap malem. Mestinya dia itu harus bersyukur, sebab setelah puluhan tahun menikah, saya masih tetap fit. Masih sehat. Tidak kena serangan jantung. Tidak diabet. Ibaratnya, setiap malam, saya selalu hangat, segar dan bertubi-tubi seperti prajurit yang siap menyerahkan jiwa raga untuk membela negara. Tidak ada kata bosan. Semuanya seakan yang pertama kali. Itu kan karunia yang harus disyukuri.
Tapi istri saya bilang, dua minggu sekali cukup. Orang lain bahkan ada yang sebulan sekali.
Ya begitulah, semalem akhirnya kami bertengkar lagi. Saya pingin. Tapi istri saya bilang, ini lagi bulan puasa. Bulan suci. Nggak boleh terlalu sering mikirin birahi.
Saya jadi pusing tujuh keliling. Saya nggak bisa tidur sampai pagi. Saya sahur sambil nggondok. Lalu tadi saya ngelencer ke segala penjuru kota membunuh waktu. Menunggu saat berbuka, saya masuki toko-toko buku. Akhirnya saya beli beberapa buku… Ini…
Mengeluarkan beberapa buku sastra tebal.
TOKOH KITA: Buku-buku sastra lama… Bukan lama karena telah menjadi karya klasik, tapi karena nggak laku. Mana ada sih orang sekarang mau baca buku beginian. Isinya cuman teror pikiran. Kasihan juga ya penulisnya. Nulis buku setebal gini, tapi nggak laku. Tadi saya beli juga kerena harganya sudah diobral murah. Kalah sama buku-buku yang sebenarnya nggak bermutu tapi malah laku, karena promosi yang besar-besaran
Ketimbang membaca novel absurd yang nggak jelas kayak gini, orang-orang memang lebih menyukai buku-buku yang praktis buat hidup mereka. Misalnya buku “Bagaimana Menjadi Sukses dalam 24 Jam”, atau “Kaya Tanpa Perlu Modal dan Usaha.” Atau kalau pun membeli buku sastra, orang pasti lebih suka membeli novel yang ringan dan bisa memberikan hiburan. Bukan novel kayak gini. Covernya saja ketinggalan jaman.
Terus terang, saya beli buku ini, belum tentu juga saya sempat membacanya…
Terdengar kumandang adzan dari kejauhan…
TOKOH KITA: Alhamdulillah….
Ia mencari-cari kunci di sakunya. Jengkel karena tetap tidak menemukan kuci itu. Ia berdiri mendangi pintu. Manahan marah. Menggebarak pintu itu. Mencoba membuka paksa gagang kunci pintu itu.
TOKOH KITA: Bayangkan… Gimana nggak jengkel saya! Seharian saya dipanggang matahari. Kesal oleh lalu lintas yang makin brengsek. Motor bersliweran siap membunuh pejalan kaki yang meleng. Seharian saya keliling kota. Menahan jengkel. Menahan haus dahaga. Berusaha agar nggak batal puasa saya. Cepat-cepat pingin sampai rumah. Membayangkan teh kental manis panas sudah terhidang di meja… Tapi pintu terkunci begini. Gimana saya nggak jengkel.
Terlihat makin sebal dan jengkel. Tapi kemudian seakan teringat sesuatu, dan buru-buru mencari kuci di beberapa tempat di beranda itu. Di balik kursi. Di bawah keset. Dan kahirnya menemukan kunci itu ada di sebuah pot bunga.
TOKOH KITA: Ahh, kenapa sampai lupa, kalau istri saya selalu ninggalin kunci di sini…
Bergegas membuka pintu. Lalu terburu masuk, sembari membawa tas dan semua belanjaannya. Lalu bergegas menyalakan saklar lampu ruangan itu. Klak. Cahaya menerangi meja makan. Ia segera menuju meja itu. Tetapi kemudian termangu. Meja itu kososng. Hanya ada vas bunga. Ia memandangi meja makan yang melompong itu. Dengan lunglai menaruh tas bawaannya di kursi sebelahnya.
TOKOH KITA: Tau gini, saya nggak usah buru-buru pulang. Saya bisa nunggu buka di warung sate kambing muda di Cirendeu. Sekarang kalau balik ke situ, tidak akan keburu. Dibayar dua kali lipat juga tukang taksi tidak akan mau jalan. Mereka juga mau menikmati buka.
Tak ada yang lebih nikmat dari saat buka puasa…. Itulah saat saya merasakan nasi adalah nasi, pisang goreng benar-benar pisang goreng. Dan kehidupan, betapa pun rewelnya, adalah sebuah puisi.
Memandangi bunga di vas di atas meja makan itu, meraihnya…
TOKOH KITA: Apa ya saya mesti buka dengan makan mawar ini… (menenggak vas bunga itu, berharap ada airnya) Sialan…, namanya saja bunga plastik.. ya nggak ada airnya….
Dengan kesal ia meraih tas dan belanjaannya. Kesal menaruh semua itu sembarangan dan asal-asalan. Lalu ia kembali memakai sepatunya.
TOKOH KITA: Biar saya ke mal saja. Saya mau mengganyang bebek goreng yang paling enak. Biar harganya selangit. Seratus ribu melayang juga tak apa, asal tidak kecewa. Kalau perlu saya bisa lanjut nonton bioskop di Pondok Indah Mal.
Lalu ia segera meraih jaket di cantelan. Siap bergegas pergi lagi. Ia hendak membuka pintu. Dan pada saat itulah terdengar suara kucing mengeong…
Ia berhenti. Tak jadi membuka pintu. Mendengarkan suara kucing yang terus mengeong itu.
TOKOH KITA: Pussss….
Kucing itu menjawab, ngeooong…
TOKOH KITA: Dia pasti juga kelaparan…. Seperti saya bilang tadi, saya memang bukan penggemar kucing, tapi saya bisa memahami suara kucing.
Kucing itu kembali mengeong.
TOKOH KITA: Kalian dengar… Itu suara kucing lapar yang mencium bau makanan. Ngeong kucing yang ngebet makan sesuatu. Ah kalau saja saya mau tekun mempelajari suara kucing, pasti saya bisa mengerti bahasa kucing seperti nabi Sulaiman…
Kucing itu kembali mengeong.
TOKOH KITA: Pussss….
Kucing itu semakin keras mengeong. Ia lalu mencari-cari, di mana kucing itu berada.
TOKOH KITA: Dari sinilah, Saudara-saudara, kisah tentang kucing ini sesungguhnya bermula.
Saya temukan kucing tetangga mengeong di dapur. Dia meratap lembut di depan almari. Matanya sayu. Ketika saya muncul, dia terus saja mendayu-dayu sambil mencakar-cakar almari, seperti menunjukkan sesuatu…
Saya ikuti petunjuknya, lalu membuka almari. Begitu daun almari terbuka, hidung saya diterjang bau ikan bakar reca-reca yang sedap sekali. Saya lihat juga ada termos dan gelas kosong dengan bubuk teh tarik sasetan di dalamnya. Tinggal diseduh saja.
Rupanya semua sudah disiapkan istri saya. Ia juga sudah menyiapkan singkong yang sudah dibalur bumbu sebelum digoreng. Makanan tradisional dengan bahan baku langsung dari kebun, lebih sehat, lebih aman, lebih murah dan lebih nikmat dari makanan kalengan keluaran pabrik mana pun.
Ngeooong, kucing itu seakan nyeletuk, seperti mengatakan: Nah ya kan?!
Ia seakan meraih kucing itu.
TOKOH KITA: Saya segera meraih kucing itu, dan membelainya. “Ya, ya… kamu memang pinter, Cing…”
Kucing itu mengeong.
TOKOH KITA: “Iya, Cing…Terimakasih ya, Cing…. Coba kalau kamu tadi tidak merintih-rintih, aku pasti tidak tahu, kalau istriku sudah menyiapkan semua makanan itu. Pasti saya tadi sudah makan di restoran bebek goreng yang mahal itu! Kamu sudah menyelamatkan uang seratus ribuku dari bebek goreng penganut Neo Liberaisme itu!”
Kucing itu mengeong.
TOKOH KITA: “Oke, aku tidak jadi marah, mari kita nikmati hidup ini!” Kucing itu menggesek-gesekkan kepalanya manja ke tangan saya. “Sekarang kamu di sini dulu ya…”
Meletakkan kucing itu, tak jauh dari meja. Kemudian mengeluarkan beberapa piring dan termos dan gelas dari dalam lemari, meletakkannya di meja.
TOKOH KITA: Begitulah, Saudara-saudara, kucing yang baik itu sekan menyadarkan saya, betapa saya mesti bersyukur punya istri yang begitu pengertian… Meski sedang ngambek dan purik pun, dia masih menyiapkan makanan kegemaran saya. Ikan bakar reca-reca.
Banyak yang bilang, kucing memang binatang baik. Kucing itu binatang pilhan Tuhan. Saya dengar, nabi juga kabarnya menyukai kucing. Banyak juga kisah yang menggambarkan kucing sebagai binatang yang setia. Menurut saya kucing itu memang mulia. Setidaknya lebih mulai ketimbang koruptor. Kucing tahu mana makanan yang menjadi haknya, mana yang bukan. Beda ama koruptor, yang menganggap semua sebagai haknya. Karena itu berhak mengambilnya.
Saya yakin, seburuh-buruknya kucing pasti masuk surge. Tapi sebaik-baiknya koruptor pasti masuk neraka.
Ya, mulai sekarang, saya akan menyukai kucing…
Terdengar suara ngeong yang keras, kemudian suara gemerompyang piring seng jatuh.
TOKOH KITA: Bangsat!! Kucing itu mengambil ikan reca-reca saya! (Dengan jengkel melempar apa saja ke arah kucing yang kabur itu) Dasar binatang ngak tahu diri! Baru saja dipuji sudah langsung ngembat makanan saya! Anjing, lu! Kerbau, lu! Setan, lu! Saya doain lu masuk neraka jahanam!
Suasana begitu ribut dan gaduh. Kucing itu terus mengeong, seperti berlarian menghindari barang-barang yang dilemparkan ke arahnya. Sementara ia terus mengejar-ngejar kucing itu.
TOKOH KITA: Betapa mendidihnya darah saya!! Kucing durjana itu malah sembunyi di kolong meja sambil terus mencaplok ikan reca-reca saya!
Ia mengambil sepatu. Mengendap dan ancang-ancang hnedak menyambit. Dengan sekuat tenaga ia melempar sepatu itu. NGEEEEOOONGGG. Terdengar suara kucing menjerit kesakitan, terkena hantaman sepatu.
TOKOH KITA: Mampus, lu!! Lihat…Kucing itu melotot. Dia tetap berusaha mencaplok ikan itu untuk dibawa kabur… Tangan saya menyambar buku, lalu menembak, tepat mengenai badannya. Kewan sialan itu terjungkal, lalu lari keluar. Ikan reca-reca saya terkapar berserakan di lantai. Tak penting lagi. Saya harus hajar maling itu.
Ia dengan geram mengambil sapu, mengendap. Siap-siap memukul.
TOKOH KITA: Lihat, kucing itu bahkan dengan tenang duduk di depan pintu sambil menjilat-jilat kakinya yang blepotan bumbu reca-reca yang sedap itu..
Ia seperti ngiler melihat kucing yang tampak begitu nikmat menjilati kakinya. Sekaligus jengkel karena kucing itu seakan mengejeknya.
TOKOH KITA: Kita nggak boleh memberi hati pada kucing. Kucing itu binatang terkutuk! Sekali kita memberi kesempatan, dia pasti akan mengulanginya lagi. Kucing itu seperti koruptor, selalu akan mengulangi kejahatan saat ada kesempatan!
Pelan-pelan ia mengendap, mendekati kucing itu. Lalu begitu melihat kesempatan, ia langsung menghantam kucing itu dengan sapu. Keras dan telah. Kucing ia mengeong kesakitan. Ia terus menghantam dengan sapu berkali-kali. Menendang kucing itu. Kucing itu terus melolong kesakitan. Dan terdengar lari menjauh…Ia terus mengejar.
Terdengar ngeong kucing itu menjauh. Ngeong yang merintih kesakitan.
Dengan kesal ia kembali masuk rumah. Ia berdiri memandangi ikan bakar reca-reca yang berceceran di lantai. Mengambil ikan reca-reca itu. Memandanginya. Lama. Ngiler. Geram. Kemudian segera mencampakkan ikan reca-reca itu ke tong sampah.
TOKOH KITA: Saya tidak sudi makan bekas kucing.
Ia terlihat bingung. Memandang ke tong sampah itu. Celingukan, seolah takut ada yang memergoki, lalu mengambil kembali ikan reca-reca itu dari tong sampah. Membawanya ke meja makan. Kembali celingukan. Lalu dengan cepat ia membungkus ikan reca-reca itu.
LAMPU PERLAHAN MEREDUP. MENGGELAP.
II
PAGI HARI. Panggung perlahan terang, bersamaan dengan terdengarnya suara siaran berita pagi dari radio, dengan nadanya yang khas.“Radio Republik Indonesia,.. Dengan Berita Pagi….” Dst.
Tokoh Kita muncul dari kamarnya, terlihat segar. Ia bersiul-siul riang. Ia mengambil sepatunya. Mengelapnya dengan kain. Mengamati apakah sepatu itu sedah bersih dan mengkilap. Mencium apakah sepatu itu bau atau tidak. Membasahi sepatu itu dengan ludahnya. Lalu kembali mengelapnya. Pagi yang riang dan menyenangkan bagi tokoh kita. Ia mematut dan merapikan diri, siap berangkat kerja.
TOKOH KITA: Saya sebenarnya sudah lupa dengan kejadian semalam. Tapi soal kucing ini rupanya masih menjadi kejutan lagi. Pagi-pagi, Pak RT muncul….
Terdengar suara pintu di ketuk. Tokoh Kita segera membuka pintu.
TOKOH KITA: Ooo, Pak RT.. Silakan masuk, Pak… Wah, wah wah… kok kadingaren, pagi-pagi begini nongol… Silakan, Pak.. Silakan duduk…
Seolah menghantar Pak RT masuk dan duduk di kursi.
TOKOH KITA: Dari sinilah, persoalan kucing ini menjadi panjang. Pak RT duduk di kursi itu. Dia langsung ngajak ngomong serius
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: Begini, Pak…Saya kira pada bulan Ramadan ini, kita semua harus bisa menahan diri, betul tidak? Saya faham, kalau kita bias jengkel. Itu manusiawi. Hmm begini…, saya mendapat komplin dari Pak Michael, tetangga depan rumah itu, katanya Bapak sudah menzalimi mereka
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: Maksud Pak Haji? Menzalimi bagaimana? Saya benar-benar nggak ngerti, Pak Haji…
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: Heh heh heh.. Nggak usah-usah formil begitu. Nggak perlu panggil Pak Haji begitu. Kan nggak enak, saya jadi kelihatan tua. Panggil saja Bang Haji, heh heh heh… Begini… Semalem Pak Michael terpaksa membawa kucingnya ke dokter. Kabarnya kucing itu Bapak pukul. Apa betul? Kalau betul, bukankah itu terlalu…
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: O, ya, betul! Semalam kucing itu mencuri makanan saya..
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: Inalillahi… Terlalu… Bapak mungkin tidak suka dengan kucing, tapi Pak Micahel itu lebih sayang pada kucing daripada anak-anaknya sendiri. Yah, jadi saya kira, Bapak mengerti.. kenapa Beliau sangat shock oleh kejadian ini. Tapi Alhamdulillah.. Untung kucing itu tidak perlu dioperasi. Tapi sekarang kucing itu pincang…
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: Masih untung hanya pincang, kucing itu mestinya harus mati karena makan reca-reca saya yang disiapkan untuk buka.
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: Istighfar, pak.. Istighfar… Yang sabar…Namanya juga kucing, Pak. Makanya jangan meletakkan makanan terbuka di meja. Kalau meletakkan makanan di meja, itu namanya terlalu…
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: Dia curi dari almari!
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: Terklalu.. benar-benar terlalu.. tapi maaf, Pak. Apa kucing bisa membuka almari, Pak?
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: Eee… ee… ya anu, Bang Haji… kebetulan pintunya lupa saya tutup…
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: Ya, ya, ya… kalau begitu, ya bukan salah kucingnya, Pak. Maaf, bukan saya menyalahkan Bapak. Tapi Bapak kan tahu, kucing itu binatang.. Tidak bisa disalahkan. Kitalah, makhluk yang diberi akal sehat oleh Tuhan, yang harus hati-hati. Kalau tidak, itu ya namanya terlalu… Sekali lagi, binatang itu tak bisa disalahkan. Kita, yang memiliki kesadaran, yang bisa bersalah…
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: Wah itu tidak adil! Kalau ada pencuri mencuri barang saya, meskipun saya lupa mengunci almari, pencuri itu ya harus dihukum, karena perbuatan mencuri itu melanggar hukum!
Terus Pak RT mau nyuruh saya ngapain? Minta maaf sama Pak Michael karena saya sudah memukul kucingnya? Tidak! Terima kasih. Kalau disuruh membayar perawatan kucing itu ke dokter, saya bayar, tapi kalau minta maaf, sorry, itu bukan gaya saya. Bukan salah saya kan?!
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: Syukurr…syukurr kalau Bapak faham. Memang begitulah maksud Beliau.. Ee, maksud saya, Pak Michael memang tidak meminta Bapak untuk minta maaf.. Beliau cuman menuntut agar Bapak mengganti ongkos berobat kucingnya…(merogoh saku dan mengeluarkan kuitansi) Ini, Pak… Kwitansi pengobatan kucing itu… dari Pak Michael…
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: (Menerima kwitansi yang disodorkan Pak RT. Tampak terperangah. Terbelalak tak percaya menatap angka-angka di kwitansi itu, lalu bicara kea rah penonton)
Minta ampun! Jumlah angka di kwitansi itu membuat saya kecut. Ini bukan soal duit. Bukan soal berapa biasya perawatan kucing itu. Tapi saya seperti diledek!
Saudara tahu, jumlah yang ada di dalam kuitansi itu pun membuat istri saya ikut terbakar.
Oh ya, semalam istri saya sudah pulang. Tapi kami masih diem-dieman. Semalem pun, dia tidur memunggungi saya. Seolah dia hendak menegaskan, agar saya jangan menyentuhnya dulu. Padahal saya udah pingin banget. Apalagi semalem saya bener-bener marah karna kucing itu. Entah kenapa, kalau habis marah, libido saya selalu jadi naik sampai ubun-ubun. Tapi, baru saya senggol sedikit saja, istri saya sudah langsung ngempit rapat-rapat…
Saya memperlihatkan soal kwitansi ini pada istri saya. Langsung saja, istri saya menyeprot Pak RT yang duduk di kursi itu…
”Denger, ya, pak RT…Kami bukannya tidak punya duit, Pak RT,” kata istri saya yang memang cepat naik darah, ”tapi ini soal keadilan. Masa kami disuruh mengongkosi kucing ke dokter padahal binatang itu sudah mencuri reca-reca suami saya? Ini keterlaluan. Kalau perlu ke pengadilan, kita ramein di pengadilan sekarang supaya jelas! Kita ini masih negara hukum kan?!”
Diam-diam saya mengucap syukur: kucing bangsat itu sudah membuat saya dan istri saya kompak lagi.
Menghadapi kemarahan istri saya, Pak RT tampak tetap tenang…
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: Baiklah…, baiklah…Demi menjaga ketentraman kita bersama, dan agar tidak merusakkan kekhusukan dan kemuliaan bulan Ramadan, biar saya carikan solusi yang terbaik… Semoga, ini menjadi jalan tengah yang memberi manfaat buat semua… Begini. Biarlah ongkos perawatan kucing itu, saya yang menanggung. Tapi izinkan saya untuk mengatakan kepada Pak Michael, semua itu dari Bapak. Jadi hubungan keluarga Pak Michael dan keluarga Bapak-Ibu di sini tetap terpelihara. Bagaimana kalau begitu? Kalau Bapak tak bisa menerima, itu namanya terlalu…
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: “Lho, lho..kenapa kok jadi Bang Haji yang repot begitu… Kami kan jadi nggak enak, sama Bang Haji…
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: Yah, bagaimana lagi? Sebagai RT saya merasa bertanggung jawab untuk selalu mengusahakan perdamaian di antara warga. Bagaimana pun kita harus menjalin ukhuwah dengan semuanya. Kalau hanya karna kucing, hubungan kita menjadi tidak baik, itu kan namanya terlalu…
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: Aduhh, saya jadi bener-bener nggak enak nih sama Bang Haji. Kalau sampai Bang Haji yang bayar, rasanya kami malu juga… Bang Haji terlalu baik sih. Seperti nabi saja… Ya sudahlah, demi Pak Haji, kami bayar saja, biar tidak berkepanjangan…
Mengeluarkan uang, dan menyerahkan ke arah Pak RT. Lalu puse, bergerak berpindah, menjadi PAK RT, seakan menerima uang yang disodorkan itu.
PAK RT: Baiklah..baiklah…. terima kasih… (lalu mengantongi sebagian uang itu ke kantongnya lebih dulu, dan memperlihatkan yang masih dipegangi) kalau begitu, biar ini nanti saya mapaikan pada Pak Michael… Wasalamu alaikum…
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: Wa’alaikum salah Bang Haji… Silakan Bang Haji…
Seakan mengiringi kepergian Pak RT keluar ke pintu…
TOKOH KITA: Hati-hati Bang Haji…. (mendengus) Heh…terlalu…
Lalu kembali menutup pintu.
TOKOH KITA: Begitulah, Saudara-saudara, akhirnya ongkos kucing itu ke dokter kami bayar kontan. Yah, barangkali, inilah yang namanya berkah Ramadan. Saya pun sekali lagi bersyukur, kucing itu sudah berjasa menjaga keutuhan rumah tangga saya. Memperbaiki hubungan saya dan istri saya. Ah, TUhan memang bekerja dengan cara yang misterius. Kalau tidak karna kucing itu, sampai sekarang saya pasti masih cakar-cakar dengan istri soal tiga hari sekali atau dua minggu sekali itu…
Anda tahu…Bahkan, sorenya, tanpa menunggu waktu berbuka, saat saya sudah kebelet dan nggak tahan ngampet.. saya langsung menyeret istri saya ke kamar. Hihi… dia tak menolaknya..
Memang, kami terpaksa mengeluarkan Rp 200 ribu untuk biaya kucing itu. Jumlah itu cukup besar, tapi tak pernah saya sesali. Sebab sejak saat itu, kucing itu tidak pernah lagi berani masuk ke dalam rumah saya. Apalagi mencuri. Kalau lewat, dia terus saja berjalan lempeng, tak sudi atau tak berani menoleh.
Sekali pernah saya lupa menutupkan pintu. Padahal di meja makan sedang ada ayam goreng yang bau harumnya muntah sampai keluar rumah. Kucing itu pura-pura menjilat-jilat kakinya yang masih pincang. Kemudian dia berhenti dan memandang ke dalam.
Terdengar suara kecing mengeong pelan.
TOKOH KITA: Tapi hanya memandang. Sama sekali tidak berani masuk. Kakinya yang pincang itu sudah membelajarkan dia untuk menghormati hak saya, sekali pun dia hanya binatang.
Terdengar tiba-tiba suara ngeong kucing itu bagai kaget. Bagai menjerit. Kemudian lari menjauh.
TOKOH KITA: Karna kucing itu pula, saya jadi punya kesempatan mendidik saya. Setidaknya, saya berharap anak saya yang masih 5 tahun bisa tahu bagaimana ia bersikap kalau ada kucing.
”Kalau ada kucing lewat dekat rumah, tidak peduli kucing siapa. usir saja!” kata saya. Anak saya kelihatan bingung, lalu dia berrtanya, “Kenapa?”
”Karena kalau dibiarkan, dia akan jadi maling! Paling tidak dia akan berak seenaknya. Kamu tahu sendiri kan, kotoran kucing itu bau, sulit hilang! Kalau kucing itu nggak mau kuamu usir baik-baik, hajar dengan batu! Ya, memang sih, tidak semua kucing jahat. Tapi kita tidak ada waktu untuk menyeleksi mana kucimng yang jahat mana yang bijaksana. Pukul rata saja, semuanya maling. Kamu tahu kenapa? Karna seperti kata George Washington, hanya senjata yang bisa dipakai untuk menjaga perdamaian. Hanya kekerasan yang akan bisa mencegah kekerasan. Biar pintu terbuka, almari lupa ditutup, kucing itu tidak akan berani lagi masuk, karena dia terpaksa menghormati kita. Kalau kucing itu masik ngotot mau maling, Bapakmu ini rela mengeluarkan lagi 200 ribu, asal bias mematahkan kakinya yang satu lagi.”
Lalu saya tunjukkan pada anak saya, bagaimana caranya menghadapi kucing maling itu, dengan melempar buku.
Mengambil buku, dan melemparkannya…
TOKOH KITA: Rupanya buku-buku itu memang ditakdirkan saya beli untuk dipakai menghajar kucing maling.
Saat itulah, istri saya keluar kamar. Ia terlihat segar. Rupanya baru keramas. Junub. Ah perempuan memang jasdi terlihat lebih segar dan menggairahkan saat baru saja keramas. Ingin saya langsung menubruknya. Tapi rupanya ia marah, karena saya dianggap mengajari anak saya kekerasan.
”Jangan mengajari anak kamu kejam!” Protes istri saya.
”Lho, hidup ini sudah kejam, kok,” jawab saya. “Kalau kita tidak ikut kejam, kita akan selalu jadi sasaran. Sebenarnya ini bukan kekejaman, tetapi ketegasan saja. Supaya tidak ada peluang orang lain untuk kejam terhadap kita, kita harus tegas. Kita tunjukkan kita bisa kejam!”
”Itu kan teori kamu!”
”Boleh dites, tapi itu berarti kita harus masak reca-reca lagi!”
Istri saya melengos tak menanggapi. Dia perempuan yang baik. Tau apa mau suami. Eh ternyata dia sudah membikinkan kembali saya reca-reca…
Berjalan ke arah lemari. Mengeluarkan sepiring ikan bakar reca-reca. Mencium harum bau reca-reca itu. Kemudian menaruhnya di meja. Ia duduk hendak menikmati reca-reca itu…
Terdengar suara kucing mengeong. Suara kucing kelaparan, dan pingin dapat makan.
Pelan Tokoh Kita mengambil ikan bakar reca-reca itu dari piring.
Kucing terus mengeong.
Tiba-tiba, sekali sentak, Tokoh Kita melempar piring seng itu ke jendelan. Suara bergemerontang menghantam dinding.
BLACK OUT. Hanya terdengar suara kucing yang terus-terusan mengeram dan menjerit marah. Lalu sepi.
III
SAAT LAMPU KEMBALI MENYALA: Tokoh Kita sudah duduk di meja makan. Menunggu buka. Sayup terdengar suara ceramah Qurais Shihab dari televisi, menghantar saaat-saat buka puasa. Tokoh kita memandangi ikan reca-reca yang terhidang di meja. Tak sabar pingin segera melahapnya. Tak sabar menunggu waktu berbuka.
Terdengar suara kucing mengeong.
Tokoh kita terlihat kesal mendengar suara kucing itu. Ia berjalan menjauhi, tetapi buru-buru kembali, dan cepat mengambil piring berisi ikan bakar reca-reca, takut kucing itu akan menyambarnya. Suara kucing masih mengeong. Tokoh kita lalu berjalan, mendekati jendela, mengintip.
TOKOH KITA: Lihat kucing itu sudah bengong di situ! (saya menunjuk keluar jendela) Nggak bakalan ada kapoknya. Namanya juga binatang!… Kalian lihat, kucing itu termenung di pagar rumah. Tapi itu jelas akting. Dia pasti sudah mengendus bau reca-reca ini.
TERDENGAR SUARA ISTRINYA: ”Tutup saja jendelanya, Pak!”
TOKOH KITA: Tidak usah. Justru ini saatnya untuk melihat apa rumah kita ini masih dia hormati kucing itu.
Tokoh kita lalu membuka jendela lebar-lebar. Membuka pintu, lalu seperti merencanakan sesuatu: sengaja menaruh piring berisi ikan reca-reca itu di atas meja. Membiarkannya terbuka. Lalu berpura-pura menjauh dari meja, tetapi masih waspada.
Suara kucing itu terus mengeong.
TOKOH KITA: Saya ingin membuktikan, apakah kucing itu masih memiliki nyali. Saya ingin membuktikan kebenaran teori presiden pertama Amerika Serikat itu. Jangan-jangan teorinya salah, tapi kita percaya, hanya karna yang ngomong Presiden Amerika.
Kucing itu terlihat nongol di jendela.(Nah disini bisa ada gimmick, dengan memunculkan boneka kepala kucing, yang seolah-olah nongol di jendela. Boneka kepala kucing ini bias dimaikan kru). Kucing terus saja mengeong, tetapi tak terjadi apa-apa. Melihat itu, Tokoh Kita lalu menurunkan piring berisi ikan reca-reca itu dari atas meja dan menaruhnya di lantai…
Kucing di jendela itu terus mengeong.
Tokoh Kita siaga dan waspada. Ketika Kucing itu tak beranjak dari jendela, piring itu dengan sengaja makin di dekatkan kea rah jendela…
TERDENGAR SUARA ISTRINYA: ”Mau makan atau mau ngurus kucing makan?! Ntar ikannya disambar lagi, baru nyesel!”
TOKOH KITA: Nggak bakalan! Kakinya yang pincang itu, sudah membuat dia ngeper sendiri! Lihat, saya sudah berhasil menghajar binatang itu bagaimana menghormati teritorial kita!
Terdengar sayup adzan magrib.
TERDENGAR SUARA ISTRINYA: “Ayo, Pak.., cepet makan! Sudah buka…”
Kucing di jendela itu terus mengeong, mengintip gelisah…
TOKOH KITA: Saya yakin dia nafsu banget pingin makan reca-reca ini. Tapi dia takut. Juga nggak mau pergi begitu saja. Reca-reca itu memang terlalu indah untuk ditinggalkan.
Tapi tiba-tiba anak saya yang kecil muncul dari samping. Dia membawa batu mau melempar binatang itu… sesuai dengan yang saya ajarkan.
Terdengar kucing itu mengeram, seperrti tak takut, seperti marah, siap menyerang. Suasana jadi tegang.
TOKOH KITA: Rupanya kucing itu tidak takut pada anak saya. Dia malah terlihat siap menerjang dengan cakarnya. Dia membungkuk menanti serangan.
Kucing itu makin keras mengeram, makin terdengar marah.
TOKOH KITA: Anak saya tak menyadari bahaya, terus mendekat dengan batu di tangan yang siap dilemparkan. Kucing itu mmulai mengeluarkan cakarnya.
Lalu tiba-tiba terdengar suara kucing yang melengking begitu keras, seperti ada suara yang menyambar: MEEEOOOONGGGGG…
Bersamaan dengan itu TERDENGAR JERITAN KETAKUTAN ISTRI; “Paaaakkk… Awaaaaaasssssss!!!!!!!”
Tiba-tiba Tokoh Kita itu langsung meloncat ke arah jendela, sambil memekik menirukan suara kucing yang siap berkelahi.
TOKOH KITA: Meeeoooooongggggggg!!!!! Meongggg!!!….
Kucing di jendela itu lenyap. Kabur.
Tiba-tiba terdengar suara derum mobil yang mendecit karena direm mendadak. Terdengar suara kucing yang menjerit kesakitan terlindas roda mobil itu. Suara mobil berhenti. Suara pintu mobil dibuka dan ditutup dengan kerap dan marah. Suara teriakan perempuan menjerit dan menangis histeris: “Ya Tuhaaannnn…. Keteraluan… Benar-benar keterlaluan..Ini pembunuhan! Pembunuhan!” Lalu disusul suara teriakan marah seorang laki-laki: “Hidup bertetangga kok nggak pengertian. Katanya beriman. Tapi nggak toleran! Ini benar-benar keterlalun”. Suara peremnpuan terisak menangis melolong. “Tidaaakkkk…Tidaaakkk”
Tokok Kita memandang ke luar jendela: terpana menyaksikan semua adegan di jalanan di luar rumahnya itu. Cepat-cepat ia menutup jendela. Menutup pintu. Bagai takut ketahuan. Bahkan kemudian ia mematikan lampu rumahnya.
Suasana gelap remang. Jeda kesunyian. Tokoh Kita tampak mencoba sembunyi dalam kegelapan ruang itu.
Suara-suara perempuan dan laki-laki yang marah dan histeris itu masih terdengar. Sampai kemudian sayup-sayup terdengar suara sirene ambulan, melengking dan menjauh.
SUNYI YANG PANJANG.
IV
SAMPAI KEMUDIAN TERDENGAR SUARA KETUKAN PINTU. Pelan. Tokoh Kita terus saja diam. Membiarkan. Lalu sayup terdengar lagu dangdut “Lari Pagi”dari radio: “Eee lari pagi..lari pagi kita semua lari pagi..lari pagi…” (lagu Rhoma Irama). Kembali terdengar ketukan di pintu, agak bertambah keras. Tokoh kita tetap diam. Membiarkan. Ketukan pintu makin keras. Tokoh Kita gelisah. Akhirnya Tokoh Kita memenyalakan lampu ruangan dan berjalan membuka pintu.
TOKOH KITA: Eee, Pak RT… Silakan Bang Haji…baru lari pagi ya, bang haji… Pasti bang haji mau bilang agar Bulan Ramadan tidak boleh mengumbar emosi kan?
Pause, menjadi PAK RT, yang tampak tengah lari-lari kecil berolah raga
PAK RT: Betul… betul… betul…. Tapi kalau terpaksa ya apa boleh buat. Kalau dibaikin nggak bias, ya boleh lah kasih pelajaran yang keras. Kalau saja masih berbuat lagi, ya itu namanya terlalu… Tuhan selalu memberi ganjaran yang setimpal…
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: Eee, maksud, Pak RT?
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: Siapa lagi! Ya, Almarhum!
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: Almarhum siapa?
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: Ya Almarhum kucing itu…Kucing yang Bapak bunuh…
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: Saya tidak membunuh kucing itu, Pak RT! Kan dia mati dilindaa mobil Pak Michael sendiri….
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: Ya untungnya ya memang begitu Kucing itu dilindas mobil Pak Michael sendiri…. Tapi sebenarnya dia sudah mati sejak Bapak mematahkan kakinya. Sejak kakinya patah, kucing itu tidak berani lagi sembarangan masuk ke rumah. Bukan hanya rumah Bapak, juga rumah saya dan rumah-rumah yang lain. Dan sejak itu pula, tak ada yang pernah kehilangan ayam atau makanan lain dari meja secara misterius. Rupanya selama ini kucing itu biang keroknya…
Sekarang kita aman…
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: Syukurlah kalau begitu, Pak RT… Jadi serkarang tak ada lagi tai kucing berserakan di mana-mana…
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: Ya…. Untuk sementara.
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: Sementara? Kenapa?
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: Sebab Pak Michael sudah membeli tiga ekor kucing lagi untuk mengganti kesayangan istrinya itu. Habis istrinya nangis terus kehilangan kucingnya.
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: (Terlihat terhenyak kaget) Berarti kita harus melakukan pembunuhan lagi?
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: He he he he…Tidak usah. Tidak usah. Itu namanya terlalu… Cukup biasakan mengunci pintu dan almari dapur.
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: Dan mematahkan kakinya pada kesempatan pertama bila kucing-kucing itu mencuri?!
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: Betulll…betullll…betulll…..
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: Sebab kalau dibiarkan atau dimaafkan, pasti akan mengulang dan lama-lama jadi penyakit!
Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: Betulll…betullll…betulll…..
Pause, menjadi Tokoh Kita.
TOKOH KITA: (Tertawa senang) Kalau begitu kita cs Pak RT! (Mengulurkan tangan mengajak salaman)
Tokoh Kita dan pak RT seperti saling salaman. Pause, menjadi PAK RT.
PAK RT: O ya, saya lupa… (sambil merogoh kantungnya, lalu mengulurkan selembar kwitansi) Menurut Pak Michael yang membunuh kucingnya itu, Bapak. Makanya Bapak diminta dengan sangat mau mengganti pembelian ketiga kucing yang baru dibeli Pak Michael itu… Wasalamu alaikum… Halailuya…
Pause, menjadi Tokoh Kita. Tak menjawab. Hanya bengong seolah mengantar Pak RT pergi. Dan dengan tetap terus bengong menutup pintu. Bersandar ke pintu itu dengan bengong. Berjalan ke tengah bagai orang linglung.
TOKOH KITA: Saya nggak faham… bener-bener nggak faham…
Kenapa saya tiba-tiba saya jadi seperti pembunuh yang harus dihukum? Dan Pak RT menganggap tak ada yang aneh… Kemana jiwa nabi Pak RT yang selama ini begitu menjaga kesejahteraan warga?! Di saat begini, kebaikan mungkin memang tidak diperlukan. Pak RT hanya pingin cari selamat saja. Ia pingin dianggap bijak. Pingin dikenang sebagai orang yang pengertian. Jangan-jangan Pak RT pingin muncul sebagai pahlawan.. Dan saya dibiarkan diinjak-injak, dikorbankan, agar Pak RT bisa tampil sebagai pahlawan
Apakah pahlawan memang memerlukan orang-orang yang menderita untuk menyangganya? Lalu kenapa saya yang mesti menanggungnya? Kenapa saya dianggap pantas menerima pemutarbalikkan yang kacau ini?!
Manusia dan binatang sama saja…
Mengeluarakan kertas kwitansi, memandanginya
TOKOH KITA: Ini bukan soal kertas dan angka-angka, Pak RT! Kalian pasti juga faham. Tatap baik-baik, Pak RT! Bukan jumlah yang tertera di sana yang membuat saya mabok… tetapi maknanya…. Hakikatnya…
Di kertas ini saya melihat ketidakberdayaan saya! Tubuh saya seperti menggelepar-gelepar di kwitansi ini. Tapi tak bisa apa-apa. Saya dipaksa menjadi korban. Saya seperti korban yang dibutuhkan agar segalanya kembali menjadi normal.
Di sini perasaan saya tak lagi penting… (sembari mulai menyobek-nyobek kertas kuitansi itu) Barangkali orang seperti saya memang tak penting. Tak pernah menjadi penting. Tak pernah dianggap penting…
Saya hanyalah sobekan-sobekan yang tak penting…tak penting…. tak penting…. tak penting…. tak penting…. tak penting…. tak penting…. tak penting…. tak penting….
Sambil terus meracau, ia terus menyobek-nyobek kuitansi itu menjadi potongan-potongan kecil. Kemudian melemparkannya ke atas. Pada saat bersamaan, potongan-potongan kertas kecil putih bagai berguguran dari langit.
S E L E S A I
0 comments:
Post a Comment