Wednesday, June 29, 2011

Naskah Monolog Lidah Pingsan Karya Agus Noor dan Indra Trenggono

Sinopsis Naskah Monolog Lidah Pingsan
Seorang wartawan mencoba memberikan kesaksiannya, tentang Pak Mardiko yang pepe di Balai Desa Menangan. Sudah hampir 30 tahun Pak Mardiko, seorang buruh tani, pepe seperti itu, digerus hujan dan debu. Pak Mardiko pepe menuntut kejelasan nasib anaknya yang dituduh mengerakkan kerusuhan, dan hilang tak tentu rimbanya.

Kegigihan Pak Mardiko, membuat Pak Lurah merasa terganggu. Ia merasa itu sebagai ancaman atas jabatannya. Bermacam usaha ia lakukan. Membujuk secara halus, sampai mengirim petugas keamanan untuk menggertak dan menghentikan pepe Pak Mardiko. Tetapi Pak Mardiko bergeming. Ia terus menuntut agar Pak Lurah memberi penjelasan, bagaimana nasib anaknya yang semata wayang itu. Ia yakin, Pak Lurahlah yang merancang skenario penangkapan itu, yang merekayasa peristiwa kerusuhan antar desa itu. Untuk mencuci tangan, Pak Lurah melimpahkan semua kesalahan itu pada anaknya. Pak Mardiko yakin itu. Karena itulah, ia terus bersikukuh pepe, meski tubuhnyta telah renta dan sakit-sakitan.

Peristiwa itulah yang ingin diberitakan oleh wartawan itu. Tetapi ancaman dan “situasi politik” di desa itu, membuatnya bimbang dan peragu. Ia terombang-ambing untuk menentukan sikap, bertahan sebagai jurnalis atau menyerah sebagai “wartawan resmi”. Ia merasa tak berdaya. Tapi ia terus didorong untuk menuliskan peristiwa itu sebenar-benarnya. Pertarungan pun bergolak dalam batinnya. Sampai kemudian ia menyadari dirinya tak lagi punya kata-kata, tak bisa bersuara. Lidah telah pingsan dalam mulutnya. Membuat apa pun yang diucapkan terdengar aneh dan ganjil.

Cuplikan Naskah Monolog Lidah Pingsan
Sepanjang hari Pak Mardiko berteriak memanggil Pak Lurah. Orang tua itu menuntut bertemu dengan Pak Lurah, karena ingin menanyakan nasib anaknya yang hilang setelah terjadi kerusuhan. Berbagai instansi, lembaga perwakilan, kantor-kantor bantuan hukum, LSM bahkan sampai Komnas HAM, sudah ia datangi. Tapi hasilnya masih remang-remang. Bahkan gelap. Mereka hanya bisa angkat bahu setiap ditanya. Tampaknya ada jaring laba-laba raksasa yang menabiri kasus ini.

“Gusti Allah tidak sare. Tuhan tidak pernah tidur.” Begitu keyakinan Pak Mardiko yang selalu dikatakan kepada saya. Ia juga yakin anaknya tak bersalah. Ketika kerusuhan di Desa Menangan meledak, anaknya lagi asyik nonton televisi. Dan saya memang sudah mengecek kebenaran ini dengan mengkonfirmasikannya ke beberapa tetangga Pak Mardiko.Anak Pak Mardiko itu memang tidak pergi ke mana-mana ketika terjadi kerusuhan. Karena itu Pak Mardiko begitu kaget ketika tiba-tiba anaknya dinyatakan sebagai biang keladi kerusuhan. Membuat anak itu ketakutan, lari dan dinyatakan sebagai buronan. Nah,…liding crito, alkisah… akhirnya anak Pak Mardiko tertangkap juga, dibawa petugas entah kemana, dan tak jelas nasibnya. Karena jalur formal-struktural sudah buntu, Pak Mardiko nekad menempuh jalur transendental-spiritual. Bertahun-tahun matahari memanggangnya, hawa dingin menusuknya. Semangat perlawanannya ternyata jauh lebih perkasa dari tubuhnya. Itulah yang membikin saya cemburu sekaligus malu. Kenapa jiwa saya begitu lembek, hanya karena imbauan, dering telpon, dan ancaman. Lebih memalukan lagi, setelah tiga puluh tahun Pak Mardiko melakukan pepe, tak satu pun koran Indonesia menuliskan….

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More