Orang terus bicara. Aku tak sanggup lagi mendengarnya. Lalu kubiarkan kepalaku berjalan-jalan. Bisa meledak otakku kalau menyimpan semua muntahannya. Sebentar lagi aku akan memasuki ibukota yang panas, penuh nyamuk, macat dan penuh persaingan. Aku tak mau buru-buru gerah. Aku masih ingin istirahat.
Kutelusuri ruang bandara yang baru itu. Aku masih ingat apa komentar Bambang. Tata ruangnya begitu bagus, sehingga meskipun begitu banyak orang yang semuanya bergerak cepat, tapi tak terasa penuh. Kebersihannya juga membantu. Barangkali juga bangunannya yang modern memang tidak membuat rasa sumpek seperti Bandara Soekarno-Hatta. Ini memang soal selera.
Aku nonton coklat-coklat yang harganya puluhan dollar. kemudian barang-barang elektronik. Juga souvenir-souvenir kecil, yang akan dibeli orang dengan bergairah karena nampak berharga. tetapi sampai di rumah, baru satu hari sinarnya layu. sama seperti barang souvenir lainnya. Kalau berkelompok dan dalam suasana berbelanja ia baru bagus. Kembali aku ingin marah dengan dunia dagang. Aku makin merasa lagi itu sebagai usaha tipu-menipu.
Tepat saat boarding. Terdengar suara wanita memanggil penumpang yang akan berangkat ke Jakarta untuk masuk ke gate 91. Semua orang yang berkepentingan berdiri mengangkat bawaannya, masuk ke gate.
Aku sendiri agak gelagapan. Aku angkat tas kulit dan tas plastikku yang berisi buku-buku. Tapi masih belum berani beranjak. Kepalaku entah masih di mana. Kalau aku pergi nanti dia bingung mencari. Jadi terpaksa aku siap saja di situ. Orang-orang sudah mulai masuk, memenuhi ruangan gate 91.
Hampir setengah jam aku menunggu. Tapi kepalaku belum kembali. Jangan-jangan di tersangkut di salah satu toko. Atau terkunci di kamar kecil. Atau naksir penumpang lain. Bagaimana pun, aku mulai cemas. Suara panggilan supaya penumpang masuk sudah diulangi. Aku mulai cemas.
Download Naskah Monolog Kepala : Disini
0 comments:
Post a Comment