SESEORANG
Aku gemetar di tengah pecahan cermin. Suara ibu menyambar-nyambar tubuhku yang sengsara. Suara itu bagai badai, memporak-porandakan seisi rumah, merontokkan seluruh keinginannku. Hanya bapak yang tetap tegar, duduk di kursi goyangnya. Ia hanya mengernyitkan kening. Menekuk lehernya 10 derajat, ke kiri. Matanya memicing. Kopi pahit kesukaannya diseruput, seperti menyeruput seluruh kemarahan ibu. Bagi ibu, itu sikap pengecut. Sementara, diam-diam aku tertarik dengan sikap bapak.
Persekutuanku dengan bapak, membuat ibu bosan menyeretku ke kamarnya lalu membenamkan wajahku ke cermin. Semakin lama aku telah melupakan ibu. Sementara, Ibu hanya mengawasiku dari jauh, dengan sorot mata yang turun naik. Ia memang sangat tunduk dengan bapak.
SUARA GAMELAN JAWA BERKELENENG.
SESEORANG
“Bapak memang lelaki gagah!” Ia seperti raja Jawa dengan berpuluh-puluh garwa selir dan prajurit yang mengawalnya. Ia duduk dengan sikap yang agung. Anjing-anjing kesayangannya selalu setia menunggui di samping kursi.
Persekutuanku dengan bapak membuatku berpikir sederhana, bahwa kesukaan bapak adalah kesukaanku juga. Walaupun sementara ini aku hanya bisa membayangkan kenikmatan duduk di kursi goyang, nyruput kopi pahit, nyedot rokok kretek, dan berlagak seperti raja Jawa. Aku sudah merasa puas.
MELONCAT DARI KURSI. KURSI NAIK KE ATAS.
SESEORANG
Tetapi ketika aku semakin dewasa, keinginanku untuk menikmati duduk di kursi bapak semakin tak terbendung. Tak sedetik pun si daun kering itu, lepas dari pandanganku. Aku begitu menikmatinya. Tetapi bapak tak pernah meng-gubrisku walaupun setiap hari aku menungguinya, persis seperti punggawa-nya.
BERPUTAR MENGELILINGI KURSI YANG TERGANTUNG.
SESEORANG
Hal itu membuat akar kesabaran ibu tercerabut. Maka pada suatu siang ia menyeretku ke kamar. Aku meronta.
SESEORANG BERDIRI. SEBUAH SILUET DI LAYAR PUTIH.
“Aku tidak mau cermin!” Tak kusangka tangan ibu sekuat Gatutkaca. “Kau harus menatap wajahmu di cermin. Lihat kau sudah mulai berkumis. Kau sudah dewasa, Nak. Masa depanmu ada di kepala bukan pada bapakmu.”
SESEORANG
Braaang! Cermin pemberian Ibu aku banting, pecah berkeping-keping. “Aku anak laki-laki. Aku ingin seperti bapak!” seruku. Ibu diam dalam senyap. Air matanya mengalir seperti ngarai. Bapak berdehem. Asap rokok mengepul-ngepul. Anjing-anjingnya mengerang, lidahnya menjulur-julur mengejekku.
SESEORANG
Kedurhakaanku pada ibu, ternyata tak membuat bapak segera beranjak dari tempat duduknya. Membaca, minum kopi, makan, mandi, kencing, berak, memarahi ibu, bersetubuh dengan ibu, memberi makan anjing, semua dilakukan di tempat duduknya. Semua dilalui dengan senyumnya yang misterius.
Ia tak pernah memperhatikan keinginanku duduk di kursi goyangnya. Sontoloyo betul bapak itu. Kursi itu seakan sudah mendarah daging, tumbuh menjadi bagian tubuhnya. Aku harus berani matur padanya. Dengan gugup aku mencoba matur
Download Naskah Monolog Biografi Kursi Tua : Disini
0 comments:
Post a Comment