Ia Baru Saja Membunuh Suaminya
Karya Alex R. Nainggolan
Ia baru saja selesai mengerjakan sesuatu yang mungkin membuatnya merasa bahagia. Nyatanya, ia tersungging, penuh dengan raut kepuasan di wajahnya. Ia membersihkan pisau yang telah berlumur merah itu, ia membilasnya dengan air sampai bersih. Dan, kilatan matanya itu seperti sebuah lampion yang menunggu, berdenyar dan penuh cahaya. Ya, ia telah melakukan pekerjaan yang menurutnya paling berat: membunuh suaminya sendiri!
Ia baru saja bangun pagi-pagi sekali. Menyiapkan kopi buat suami. Tetapi ia merasa suaminya akhir-akhir ini sering memarahinya, entah itu mengumpat, untuk sesuatu yang biasanya menjadi rutinitas namun ia terlupa. Dan menampar, bahkan untuk urusan yang sepele sekalipun. Ia menangis, tersendat, begitu tertahan. Isak yang tak bergerak, seperti jarum waktu yang berputar mengerat, begitu diam. Terasa perlahan. Sehirupan napas. Ia ingat, mengapa beberapa bulan belakangan ini suaminya sering marah-marah padanya, bahkan untuk urusan yang sepele. Mungkin karena sibuk mencari duit. Kata orang, duit terkadang jadi masalah dalam keluarga. Namun apakah semuanya bermakna karena materi semata saja?
Ia bangun pagi-pagi sekali. Matanya seperti sorot embun. Namun ketika ia menyodorkan gelas kopi, suaminya mendampratnya. Padahal ia masih ingat bagaimana tangan yang kekar itu mendekapnya perlahan. Ya, ia masih mengingatnya. Dulu, ah, mengapa orang selalu senang mengenang kesilaman. Seperti sketsa bayangan rabun yang terkunci, pintu yang menyodorkan sejumlah kenangan, di mana warna-warni indah saja yang terlihat. Tetapi perubahaan adalah keniscayaan, sebentuk kesederhanaan yang akan datang di tubuh manusia. Dan ia pun paham, suaminya tengah berubah, bukan yang dulu lagi. Ketika menggandeng tangannya di pusat keramaian kota, ketika mencium bibirnya dengan lembut di dalam bioskop yang gelap…
Ah, mengapa ia mesti bangun pagi-pagi sekali? Toh, dunia juga tak akan beda baginya, terkurung di dalam rumah, disibukkan dengan pekerjaan yang biasa-biasa saja. Memasak. Mencuci piring dan baju. Nonton televisi. Sesekali, sebenarnya ia ingin suaminya mengajak jalan-jalan ke suatu tempat di dalam kota. Namun semuanya telah berubah bukan? Ya, ia pun paham --jika dirinya mesti bangun pagi-pagi sekali, dengan begitu ia bisa menyiapkan segalanya. Dengan begitu ia bisa menyediakan kopi untuk suaminya. Dengan begitu ia merasa telah melunaskan tugasnya sebagai seorang istri yang baik. Istri yang digambarkan dalam agamanya, bagaimana mesti bersikap kepada suami. Tetapi, ketika menyodorkan segelas kopi yang masih ngepul dengan asap tipis: lho,kok¸ malah digampar.
Ia menangis. Sejadi-jadinya. Pertahanannya yang tadi jebol juga. Ia tak mampu menampung. Ia sedih. Ia menyudut. Suaminya nanar, menjambaknya, menarik rambutnya. Ia merasa terbanting, ia ingat bagaimana ia biasa dipeluk oleh tangan hangat itu. Namun nampaknya segalanya sudah berlalu. Suaminya marah.
"Aku dengar kau sering kelayapan keluar rumah, ketika aku sedang bekerja. Dengan siapa?"
Ia hanya diam saja. Membisu. Tak sempat mengucapkan sesuatu.
"Ayo, jawab!!" Hentakan dari suaminya berlanjut, "Dengan siapa? O, jadi begini figur istri yang baik, kelayapan. Aku mendapatkan info dari orang yang dekat dengan kita, katanya malah kau sampai peluk-pelukan segala, di depan keramaian lagi!"
Ia mencoba mengingat. Tetapi segalanya abu-abu. Seperti ia merasa lelah ketika ingin membuka album foto masa lalu mereka berdua. Berapa lama mereka saling mengenal satu sama lainnya? Apakah benar ada kecurigaan mendasar dalam diri suaminya?
Demikianlah. Kecurigaan suaminya akhir-akhir ini seringkali meningkat. Ia tak tahu kenapa. Apakah sebuah keluarga dibangun dari rasa tidak percaya? Kecurigaan yang menjelma jadi lempung. Sesungguhnya, dulu, sebelum memutuskan menikah dengan lelaki itu, ia mengkhayalkan sebuah keluarga yang baik. Di mana ia akan menerima belaian kasih sayang sepanjang hari dari suaminya. Namun kenyataannya, yang terjadi tidaklah mudah. Ternyata membentuk keluarga merupakan suatu hal yang sangat sulit.
Apakah cinta memunyai dendam? Barangkali ya. Tetapi selalu ada sisi lain yang menampak, yang justru membuat keruh suasana. Dan ia berusaha untuk tetap mencintai suaminya, sebagaimana ia tercipta. Perempuan yang selalu diajar oleh kedua orang tuanya untuk tunduk dan setia di hadapan suami.
Tetapi, kenyataan kembali memaksa. Semacam ketika rasa was-was yang hadir terus saja melibasnya, setiap kali ia pingin bertemu dengan suaminya. Setiap kali dirinya masuk ke dalam rumah. Was-was yang menggelembung besar, yang membuat ia membenci suaminya. Meski di sudut hati kecil yang lain, ia masih mencintai suaminya. Ah, cinta, apakah harus tetap seperti ini? Ia merasa selalu ada yang berbaur antara benci dan suka. Ketika ia menghadapi --rutinitasnya sebagai istri belakangan ini-- yang setiap kali memandang wajah suaminya selalu ada kelebat bosan.
Di mukanya kini ada lebam biru, yang membuatnya malas berkaca. Wajahnya tidak lagi terlihat cantik, ia merasa ada yang menguntitnya. Seseorang, mungkin yang memantaunya dari kejauhan. Di muka cermin, ia saksikan wajahnya yang sendu, tak berdaya, dan takluk. Ia merasakan wajahnya nampak lebih tua akhir-akhir ini. Ah, apakah suaminya yang menyebabkan seperti itu?
Kelebat itu datang lagi, mengoyak dirinya. Padahal ia ingin mengembara ke masa lalunya yang bahagia itu. Ketika pertama kali suaminya menyatakan jatuh hati padanya. Kelebatan yang selalu bahagia. Ia merasa melayang diperlakukan istimewa. Dan kini, setelah mendampingi hidup suaminya selama beberapa tahun, ia merasa ada hal lain yang dipenuhi kejanggalan. Sesuatu yang justru turut memperkeruh semua rutinitasnya.
Ia ingin berdoa supaya ada seorang pangeran menjemputnya. Atau seorang ksatria berkuda membawanya pergi dari rumah ini. Sebab rumah nyatanya tak pernah lagi membuatnya betah. Ia selalu merasa terdesak, ingin pergi keluar jauh. Mungkin ke arah laut, di mana ia bisa duduk berdua-duaan dengan lelaki penyelamatnya. Menikmati matahari, menikmati pasir, mengarsir angin yang kesiur membawa ombak, yang mendamparkan segala buih. Ia ingin duduk berdua-dua, berwaktu-waktu.
Memang sekali dua kali masih ada lelaki yang dikenalnya, mengajaknya pergi. Semenjak suaminya sering memukulinya, praktis ia keluar jauh dari rumah. Ia memang menemui lelaki selain suaminya. "Barangkali aku telah berkhianat," keluhnya pada Dhesi, sahabat curhatnya. Sambil duduk memandang jauh, ia bertanya lirih, "Apakah cinta mesti diisi dengan para pecundang? Dikhianati dengan kadar kesetiaan yang begitu larat?"
Pagi itu, setelah ia menyeduhkan kopi dan menyiapkan sarapan pagi. Seusai ia merasakan tangan kekar yang menampar wajahnya, padahal dulu tangan itu begitu lembut membelai dirinya. Padahal dulu tangan itu selalu hati-hati dalam memegang setiap bagian tubuhnya.
Ia merasa ada tenaga lain yang merasukinya. Masuk ke dapur, mengambil sebuah pisau. Ya, ia baru saja selesai mengerjakan sesuatu yang mungkin membuatnya merasa bahagia. Sesuatu hal yang barangkali tak pernah diimpikan namun menjelma jadi sebuah kenyataan yang berdenyar. Nyatanya, ia tersungging, penuh dengan raut kepuasan di wajahnya. Bibirnya seakan dipenuhi dengan ekspresi kemenangan. Ia membersihkan pisau yang telah berlumur merah darah itu, ia membilasnya dengan air sampai bersih. Dan, kilatan matanya itu seperti sebuah lampion yang menunggu, berdenyar dan penuh cahaya. Ya, ia telah melakukan pekerjaan yang menurutnya paling berat: membunuh suaminya sendiri!
Di sudut yang lain, sesosok tubuh tergeletak, bersimbah darah. Sementara, pagi telah begitu terang.
Ruang Cipta, Kedaton, Januari-Februari 2004
Karya Alex R. Nainggolan
Ia baru saja selesai mengerjakan sesuatu yang mungkin membuatnya merasa bahagia. Nyatanya, ia tersungging, penuh dengan raut kepuasan di wajahnya. Ia membersihkan pisau yang telah berlumur merah itu, ia membilasnya dengan air sampai bersih. Dan, kilatan matanya itu seperti sebuah lampion yang menunggu, berdenyar dan penuh cahaya. Ya, ia telah melakukan pekerjaan yang menurutnya paling berat: membunuh suaminya sendiri!
Ia baru saja bangun pagi-pagi sekali. Menyiapkan kopi buat suami. Tetapi ia merasa suaminya akhir-akhir ini sering memarahinya, entah itu mengumpat, untuk sesuatu yang biasanya menjadi rutinitas namun ia terlupa. Dan menampar, bahkan untuk urusan yang sepele sekalipun. Ia menangis, tersendat, begitu tertahan. Isak yang tak bergerak, seperti jarum waktu yang berputar mengerat, begitu diam. Terasa perlahan. Sehirupan napas. Ia ingat, mengapa beberapa bulan belakangan ini suaminya sering marah-marah padanya, bahkan untuk urusan yang sepele. Mungkin karena sibuk mencari duit. Kata orang, duit terkadang jadi masalah dalam keluarga. Namun apakah semuanya bermakna karena materi semata saja?
Ia bangun pagi-pagi sekali. Matanya seperti sorot embun. Namun ketika ia menyodorkan gelas kopi, suaminya mendampratnya. Padahal ia masih ingat bagaimana tangan yang kekar itu mendekapnya perlahan. Ya, ia masih mengingatnya. Dulu, ah, mengapa orang selalu senang mengenang kesilaman. Seperti sketsa bayangan rabun yang terkunci, pintu yang menyodorkan sejumlah kenangan, di mana warna-warni indah saja yang terlihat. Tetapi perubahaan adalah keniscayaan, sebentuk kesederhanaan yang akan datang di tubuh manusia. Dan ia pun paham, suaminya tengah berubah, bukan yang dulu lagi. Ketika menggandeng tangannya di pusat keramaian kota, ketika mencium bibirnya dengan lembut di dalam bioskop yang gelap…
Ah, mengapa ia mesti bangun pagi-pagi sekali? Toh, dunia juga tak akan beda baginya, terkurung di dalam rumah, disibukkan dengan pekerjaan yang biasa-biasa saja. Memasak. Mencuci piring dan baju. Nonton televisi. Sesekali, sebenarnya ia ingin suaminya mengajak jalan-jalan ke suatu tempat di dalam kota. Namun semuanya telah berubah bukan? Ya, ia pun paham --jika dirinya mesti bangun pagi-pagi sekali, dengan begitu ia bisa menyiapkan segalanya. Dengan begitu ia bisa menyediakan kopi untuk suaminya. Dengan begitu ia merasa telah melunaskan tugasnya sebagai seorang istri yang baik. Istri yang digambarkan dalam agamanya, bagaimana mesti bersikap kepada suami. Tetapi, ketika menyodorkan segelas kopi yang masih ngepul dengan asap tipis: lho,kok¸ malah digampar.
Ia menangis. Sejadi-jadinya. Pertahanannya yang tadi jebol juga. Ia tak mampu menampung. Ia sedih. Ia menyudut. Suaminya nanar, menjambaknya, menarik rambutnya. Ia merasa terbanting, ia ingat bagaimana ia biasa dipeluk oleh tangan hangat itu. Namun nampaknya segalanya sudah berlalu. Suaminya marah.
"Aku dengar kau sering kelayapan keluar rumah, ketika aku sedang bekerja. Dengan siapa?"
Ia hanya diam saja. Membisu. Tak sempat mengucapkan sesuatu.
"Ayo, jawab!!" Hentakan dari suaminya berlanjut, "Dengan siapa? O, jadi begini figur istri yang baik, kelayapan. Aku mendapatkan info dari orang yang dekat dengan kita, katanya malah kau sampai peluk-pelukan segala, di depan keramaian lagi!"
Ia mencoba mengingat. Tetapi segalanya abu-abu. Seperti ia merasa lelah ketika ingin membuka album foto masa lalu mereka berdua. Berapa lama mereka saling mengenal satu sama lainnya? Apakah benar ada kecurigaan mendasar dalam diri suaminya?
Demikianlah. Kecurigaan suaminya akhir-akhir ini seringkali meningkat. Ia tak tahu kenapa. Apakah sebuah keluarga dibangun dari rasa tidak percaya? Kecurigaan yang menjelma jadi lempung. Sesungguhnya, dulu, sebelum memutuskan menikah dengan lelaki itu, ia mengkhayalkan sebuah keluarga yang baik. Di mana ia akan menerima belaian kasih sayang sepanjang hari dari suaminya. Namun kenyataannya, yang terjadi tidaklah mudah. Ternyata membentuk keluarga merupakan suatu hal yang sangat sulit.
Apakah cinta memunyai dendam? Barangkali ya. Tetapi selalu ada sisi lain yang menampak, yang justru membuat keruh suasana. Dan ia berusaha untuk tetap mencintai suaminya, sebagaimana ia tercipta. Perempuan yang selalu diajar oleh kedua orang tuanya untuk tunduk dan setia di hadapan suami.
Tetapi, kenyataan kembali memaksa. Semacam ketika rasa was-was yang hadir terus saja melibasnya, setiap kali ia pingin bertemu dengan suaminya. Setiap kali dirinya masuk ke dalam rumah. Was-was yang menggelembung besar, yang membuat ia membenci suaminya. Meski di sudut hati kecil yang lain, ia masih mencintai suaminya. Ah, cinta, apakah harus tetap seperti ini? Ia merasa selalu ada yang berbaur antara benci dan suka. Ketika ia menghadapi --rutinitasnya sebagai istri belakangan ini-- yang setiap kali memandang wajah suaminya selalu ada kelebat bosan.
Di mukanya kini ada lebam biru, yang membuatnya malas berkaca. Wajahnya tidak lagi terlihat cantik, ia merasa ada yang menguntitnya. Seseorang, mungkin yang memantaunya dari kejauhan. Di muka cermin, ia saksikan wajahnya yang sendu, tak berdaya, dan takluk. Ia merasakan wajahnya nampak lebih tua akhir-akhir ini. Ah, apakah suaminya yang menyebabkan seperti itu?
Kelebat itu datang lagi, mengoyak dirinya. Padahal ia ingin mengembara ke masa lalunya yang bahagia itu. Ketika pertama kali suaminya menyatakan jatuh hati padanya. Kelebatan yang selalu bahagia. Ia merasa melayang diperlakukan istimewa. Dan kini, setelah mendampingi hidup suaminya selama beberapa tahun, ia merasa ada hal lain yang dipenuhi kejanggalan. Sesuatu yang justru turut memperkeruh semua rutinitasnya.
Ia ingin berdoa supaya ada seorang pangeran menjemputnya. Atau seorang ksatria berkuda membawanya pergi dari rumah ini. Sebab rumah nyatanya tak pernah lagi membuatnya betah. Ia selalu merasa terdesak, ingin pergi keluar jauh. Mungkin ke arah laut, di mana ia bisa duduk berdua-duaan dengan lelaki penyelamatnya. Menikmati matahari, menikmati pasir, mengarsir angin yang kesiur membawa ombak, yang mendamparkan segala buih. Ia ingin duduk berdua-dua, berwaktu-waktu.
Memang sekali dua kali masih ada lelaki yang dikenalnya, mengajaknya pergi. Semenjak suaminya sering memukulinya, praktis ia keluar jauh dari rumah. Ia memang menemui lelaki selain suaminya. "Barangkali aku telah berkhianat," keluhnya pada Dhesi, sahabat curhatnya. Sambil duduk memandang jauh, ia bertanya lirih, "Apakah cinta mesti diisi dengan para pecundang? Dikhianati dengan kadar kesetiaan yang begitu larat?"
Pagi itu, setelah ia menyeduhkan kopi dan menyiapkan sarapan pagi. Seusai ia merasakan tangan kekar yang menampar wajahnya, padahal dulu tangan itu begitu lembut membelai dirinya. Padahal dulu tangan itu selalu hati-hati dalam memegang setiap bagian tubuhnya.
Ia merasa ada tenaga lain yang merasukinya. Masuk ke dapur, mengambil sebuah pisau. Ya, ia baru saja selesai mengerjakan sesuatu yang mungkin membuatnya merasa bahagia. Sesuatu hal yang barangkali tak pernah diimpikan namun menjelma jadi sebuah kenyataan yang berdenyar. Nyatanya, ia tersungging, penuh dengan raut kepuasan di wajahnya. Bibirnya seakan dipenuhi dengan ekspresi kemenangan. Ia membersihkan pisau yang telah berlumur merah darah itu, ia membilasnya dengan air sampai bersih. Dan, kilatan matanya itu seperti sebuah lampion yang menunggu, berdenyar dan penuh cahaya. Ya, ia telah melakukan pekerjaan yang menurutnya paling berat: membunuh suaminya sendiri!
Di sudut yang lain, sesosok tubuh tergeletak, bersimbah darah. Sementara, pagi telah begitu terang.
Ruang Cipta, Kedaton, Januari-Februari 2004
0 comments:
Post a Comment