Sejauh mataku memandang, sejauh aku memikir, tak sebuah jua pun mengada. Semuanya mengabur, seperti semua tak pernah ada. Tapi angin dari gunung itu berembus juga. Dan seperti angin itu juga semuanya lewat tiada berkesan. Dan aku merasa diriku tiada.
Dan dia berkata lagi. Lebih lemah kini, "Kau punya istri sekarang, anak juga. Kau berbahagia tentu.
"Aku sendiri sedang bertanya."
"Tentu. Karena tiap orang tak tahu kebahagiaannya. Orang cuma tahu kesukarannya saja."
Dan dia diam lagi. Kami diam. Angin dari gunung datang lagi menerpa mukaku. Dan kemudian dia berkata lagi. "Sudah lima tahun, ya? Ya. Lima tahun kawin dan punya anak."
Aku masih tinggal dalam diamku. Aku kira dia bicara lagi.
"Kau cinta pada istrimu tentu."
"Anakku sudah dua."
"Ya. Sudah dua. Kau tentu sayang pada mereka. Mereka juga tentunya. Dan kau tentu bahagia."
Dia berhenti lagi. Lalang yang ditiup angin bergelombang menuju kami. Lalu angin menerpa mukaku lagi. Dan aku merasa ketiadaanku pula. Angin pergi.
"Kau ingat, Har?"
"Apa?" kutanya dia dengan gaya suaranya.
"Sembilan tahun yang lalu."
"Ya. Aku masih ingat. Tapi itu sudah lama lampaunya."
"Ya. Sudah lama. Aku tak pernah mau mengingatnya. Tapi kini aku ingat lagi."
Dia diam lagi. Dan memandang jauh ke arah gunung itu. "Ketika itu seperti macam sekarang. Kita duduk seperti ini juga. Tapi tempatnya bukan di sini.
Aku masih ingat, sekali kau menggenggam jariku erat sekali. Aku biarkan dia tergenggam. Dan dalam tekanan genggamanmu, aku tahu kau mau bicara.
Dan aku menunggunya. Tapi kau tak berkata apa-apa.
"Masa itu, masa kanak-kanak kita," kataku. Tapi cepat kemudian aku jadi menyesal telah mengatakannya.
Dan dia berkata lagi. Lebih lemah kini, "Kau punya istri sekarang, anak juga. Kau berbahagia tentu.
"Aku sendiri sedang bertanya."
"Tentu. Karena tiap orang tak tahu kebahagiaannya. Orang cuma tahu kesukarannya saja."
Dan dia diam lagi. Kami diam. Angin dari gunung datang lagi menerpa mukaku. Dan kemudian dia berkata lagi. "Sudah lima tahun, ya? Ya. Lima tahun kawin dan punya anak."
Aku masih tinggal dalam diamku. Aku kira dia bicara lagi.
"Kau cinta pada istrimu tentu."
"Anakku sudah dua."
"Ya. Sudah dua. Kau tentu sayang pada mereka. Mereka juga tentunya. Dan kau tentu bahagia."
Dia berhenti lagi. Lalang yang ditiup angin bergelombang menuju kami. Lalu angin menerpa mukaku lagi. Dan aku merasa ketiadaanku pula. Angin pergi.
"Kau ingat, Har?"
"Apa?" kutanya dia dengan gaya suaranya.
"Sembilan tahun yang lalu."
"Ya. Aku masih ingat. Tapi itu sudah lama lampaunya."
"Ya. Sudah lama. Aku tak pernah mau mengingatnya. Tapi kini aku ingat lagi."
Dia diam lagi. Dan memandang jauh ke arah gunung itu. "Ketika itu seperti macam sekarang. Kita duduk seperti ini juga. Tapi tempatnya bukan di sini.
Aku masih ingat, sekali kau menggenggam jariku erat sekali. Aku biarkan dia tergenggam. Dan dalam tekanan genggamanmu, aku tahu kau mau bicara.
Dan aku menunggunya. Tapi kau tak berkata apa-apa.
"Masa itu, masa kanak-kanak kita," kataku. Tapi cepat kemudian aku jadi menyesal telah mengatakannya.
Download Cerpen Angin Dari Gunung Karya AA. Navis ; Disini
0 comments:
Post a Comment